GPIB, Jakarta – “Saya sudah disebut Lurahnya Rumah Sakit Doris oleh para dokter dan suster serta para medis karena lamanya diisolasi dan hampir disebut sebagai Camat kalau lebih dari 50 hari diisolasi,” demikian kata Pdt. Henry Tamaela sambil tertawa ketika mengawali perbincangan.
Maka lewat telpon, dari awal gejala terpapar Corona hingga keluar dari Rumah Sakit Doris, Palangkara, demikian diceritakan Pdt. Henry yang menjadi Ketua Majelis Jemaat (KMJ) GPIB Ebenhaezer, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
“Gejalanya di awal Maret. Agak aneh memang, yaitu demam, batuk tapi tidak sesak dengan badan agak gatel. Dari awal Maret itu sampai tanggal 10 saya sudah lewat masa-masa itu inkubasi sebenarnya. Tapi saya dapat kabar, vikaris saya masuk rumah sakit dan saya mulai gusar setelah itu. Dan, pada tanggal 20 Maret, petugas kesehatan mendatangi saya dan saya dijemput untuk dibawa rumah sakit dengan status PDP. Dan tanggal 28 Maret hasil tes pertama saya dinyatakan positif,” ujarnya.
Selama di rumah sakit, kata Pdt. Henry, tidak ada ada gejala berat, namun hasil 5 kali tes yang lama menunggunya, semua positif. “Bisa dibayangkan menunggu hasil lab itu sangat lama, di Palangkaraya belum ada alatnya, harus nunggu dari Surabaya atau Jakarta. Dan itu memakan waktu cukup lama. Say aharus berjuang menghadapi rasa jenuh dan rasa psikologis,” tandasnya.
Mengatasi rasa jenuh diakui Pdt. Henry tidak mudah. “Saya sudah dengar ada teman-teman yang sudah pulang, tapi kok saya masih lama diiisolasi. Sempat bertanya-tanya, kenapa ya saya? Dari hal itu, saya mendekatkan diri pada Tuhan, berdoa, membaca Alkitab dan mengumpulkan informasi-informasi yang positif dari rekan pendeta dan warga jemaat yang sangat menguatkan saya. Jujur, saya senang juga selama saya diisolasi, tidak ada warga jemaat di tempat saya yang positif virus ini, padahal intensitas pertemuan saya dengan jemaat cukup tinggi, coba kalau ada salah seorang atau dua orang yang terpapar, itu akan membuat saya semakin tertekan. Dan Puji Tuhan, tidak ada seorang pun yang positif,” pungkasnya.
Ia juga menjelaskan telah menjalani tes sebanyak 8 kali. “Swab ke 6, ke 7 dan ke 8 justru hasilnya lama. Sampai-sampai pihak rumah sakit juga bingung kenapa lama,” ujar Pdt. Henry. Bahkan karena kondisi menunggu hasil tes yang lama, ia merasakan dua pengalaman yang membuat dia merasa down dan juga terangkat mentalnya.
“Pengalaman yang membuat down saya adalah mendengar kabar ada teman pendeta yang meninggal karena virus ini. Saya sampai meminta oksigen karena sesak nafas mendengar kabar itu. Tapi saya kemudian untuk berpikir positif dan menantang paru-paru saya untuk bernafas normal dan upaya itu berhasil. Itu pengelaman yang tak mengenak.”
Sedangkan pengalaman yang membuatnya mentalnya naik adalah pertemuan dengan dokter yang memeriksanya. “Kala itu, ada seorang doter datang ke saya. Justru dokter iu menghela nafas dan berkata, untuk bersabar menunggu hasil tesnya. Ya, saya juga tidak tahu kenapa hasilnya lama sekali. Tapi bapak tetap semangat ya. Nah, dari omongan itulah saya jadi terbangun. Bahwa semangat itu bukan hanya buat diri saya tapi buat orang lain juga. Semangat itu punya tujuan. Bahwa semangat itu bisa bangkit harus punya tujuan. Dan tujuan itu tadi bukan untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain,” kata Pendeta Henry yang sudah di rumah pada tanggal 5 Mei 2020 malam.
Pdt. Henry juga berpesan bahwa isolasi itu relatif, bisa lama dan bisa sebentar. “Mulailah menjaga diri, mendukung anjuran pemerintah dan sebisa mungkin di rumah. Kalau pun ke luar kalau tidak urgent lebih baik di rumah, perbanyak waktu bersama keluarga, berdoa, cuci tangan, berjemur. Dan paling penting adalah memberi semangat satu dengan yang lain. Jadilah komunitas penyembuh. Gereja bukanlah komunitas sekadar berdoa tapi juga komunitas penyembuh, harus saling mendoakan, memberi semangat bagi semua orang,” ungkap mengakhiri perbicangan. (lip)