arcus Ed. 24 – Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) terus menata diri. Kali ini gereja terbesar yang tersebar di 25 Mupel dihampir seluruh Indonesia ini tegas mengatakan untuk mempersiapkan pendetanya menjadi sosok yang bisa diandalkan untuk mempersiapkan warga Jemaat aktif dalam pelayanan.
“Usaha GPIB untuk mempersiapkan warga jemaat yang selalu siap berperan aktif dalam masyarakat dimulai dengan kesiapan GPIB untuk memiliki Pelayan Firman dan Sakramen/Pendeta yang berkualitas,” kata Pdt Paulus Kariso Rumambi pada kata pengantarnya dalam Laporan Kerja PKA 2018-2019 dan 2019 dan 2020 di Persidangan Sinode GPIB di Denpasar Bali belum lama ini.
Dikatakan, karakter dan kompetensi pendeta harus dipersiapkan dengan sebaik mungkin untuk mengantisipasi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ke depan. “Kita tahu revolusi industri 4.0, bahkan di Jepang sudah mulai 5.0 Jadi bagaimana para pendeta dipersiapkan untuk peningkatan pengembangan karakter dan kompetensinya,” tandas Pdt Rumambi di forum PST Bali yang dibuka dengan Perjamuan Kudus oleh Pdt Maureen Rumeser-Thomas, Ketua III Majelis Sinode GPIB.
Catatan arcus, Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) dalam menciptakan pendeta-pendeta yang berkualitas menggunakan penilaian kinerja terhadap pendetanya. Sinode GMIT telah memutuskan adanya pemberlakuan Penilaian Kinerja terhadap pendetanya.
Tujuan penilaian kinerja untuk memberikan arah untuk penetapan promosi, demosi (penurunan jabatan), kenaikan gaji, rotasi, mutasi dan perencanaan karier karyawan. Dan juga untuk memberikan data kepada manajemen GMIT yaitu Majelis Sinode tentang prestasi kerja dan memberikan data kepada individu tentang kelebihan dan kekurangannya.
Penilaian kinerja juga untuk memotivasi, yaitu menciptakan pengalaman belajar yang memotivasi untuk
mengembangkan diri dan meningkatkan prestasi kerja yang bersangkutan.
Pelayanan berbasis kinerja bukan sesuatu yang asing dalam iman Kristen. Memang istilah kinerja muncul dalam kehidupan sekuler, tetapi ia bukan hal yang sama sekali baru. Iman Kristen juga memiliki rujukan dan pendasaran yang kokoh dengan perlunya percakapan bahkan juga pelaksanaan pelayanan berbasis kinerja.
Evaluasi pelayanan berbasis kinerja juga muncul dalam pemberitaan para nabi PL terhadap raja-raja yang memerintah. Mereka diberi berbagai fasilitas untuk pekerjaan pembebasan dan penyelamatan umat. Mereka yang menyimpang dari koridor ini Allah tak segan-segan menurunkan mereka dari tahta dan menarik rohNya dari
mereka (I Semuel 15:10-11).
Yang pasti dengan hadirnya pendeta yang berkualitas diharapkan Visi Misi gereja bisa diwujudkan. Tema PKUPPG GPIB tahun 2019-2020 “Membangun masyarakat sejahtera demi kesejahteraan umat dan kekuatan bangsa” (Yeremia 29: 7) peran presbiter sangat diharapkan bisa mengejawantahkan tema di jemaat.
Arahan Majelis Sinode XX menyebutkan, keberhasilan pelaksanaan Misi GPIB sangat berperan penting dalam membangun masyarakat yang senantiasa mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga dapat menjaga keutuhan dan kekuatan bangsa.
Tema “Membangun masyarakat sejahtera demi kesejahteraan umat dan kekuatan bangsa” secara khusus hendak memberikan arah dan strategi secara teologis praktis agar GPIB di tahun program 2019-2020 warga jemaat GPIB dapat berperan aktif bersama masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan dan menjaga keutuhan bangsa.
Dikatakan, krisis global yang berlangsung saat ini tidak lain berasal dari kecenderungan hati manusia yang jahat. Manusia semakin serakah, korup, kikir dan penuh kebencian. Ia kurang peduli dengan kelangsungan hidup sesamanya, yakni manusia dan ciptaan Allah lainnya.
Kondisi global tersebut diperparah dengan sistem dan struktur yang diskriminatif dan eksploitatif. Sebagian dari para pemimpin yang seharusnya menjadi pelayan dan teladan bagi masyarakat justru sibuk memperebutkan kuasa dan harta.
Persoalan lainnya berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah adanya jurang dalam relasi antar pribadi dan antar kelompok di masyarakat. Jurang itu tercipta dan terpelihara oleh fanatisme, fundamentalisme, radikalisme, chauvinisme, sukuisme, stereotipe, prasangka, curiga, dan berbagai faktor lain yang terjalin.
“Damai sejahtera atau syalom bukanlah sekadar basa basi, melainkan seharusnya mewakili situasi yang ada atau menjadi harapan bagi situasi yang ada,” ungkap Ketua Umum Majelis Sinode XX, Pdt Paulus Kariso Rumambi, M.Si.
GPIB diajak untuk tidak hanya menjadi pendamai dalam relasi dan aktivitas kehidupan kita sehari-hari, melainkan juga pendamai yang aktif dalam mengusahakan kesejahteraan, baik bagi gereja maupun bagi seluruh anggota masyarakat Indonesia.
Membangun kesejahteraan bukanlah sebuah pilihan, melainkan tugas dan tanggung jawab yang mendesak untuk dilakukan, baik sebagai warga gereja maupun warga masyarakat.
Damai sejahtera memampukan setiap murid Yesus untuk tetap bertahan dalam situasi terburuk sekalipun seperti penganiayaan dan penderitaan. Gereja perlu mendoakan pemerintah sambil menyampaikan suara kenabiannya, sehingga pemerintah dapat terus melaksanakan tugas kepemimpinan dan pelayanannya dengan baik dan benar.
Sejahtera atau syalom tidak terpisah dari lima nilai menggereja kontekstual, yaitu pertobatan, perdamaian, pembaruan, pengosongan diri (kenosis) dan kesederhanaan (keugaharian). Kelima nilai keutamaan ini sesungguhnya merupakan nilai-nilai Kerajaan Allah yang menjadi pembentuk identitas diri gereja menurut model gereja Yesus Kristus.
Bagi GPIB, jika hari ini GPIB ingin menghadirkan syalom atau selamat, hendaknya usaha ini menjadi usaha yang bersifat lintas-agama dan lintas-budaya, sehingga menjadi sebuah teologi publik yang lintas-agama-agama. fsp