
arcus Ed. 24 – Pendeta itu Profesi atau bukan? Pertanyaan mencuat dalam diskusi kelompok di Konferdal Germasa GPIB di Kinasih. Penekanan pertanyaan ini berulang kali disampaikan dalam forum sinodal yang dilaksanakan pada 21 – 23 Januari 2019 itu.
“Ini perlu penjelasan, pendeta itu Profesi atau bukan. Kalau profesi perlunya disiapkan semacam Kode Etik Pendeta,” ungkap dr. Raymond Runtu, peserta Konferdal dari Jawa Timur ini.
Menurutnya, kalau Dokter sudah jelas memiliki Kode Etik Kedokteran. Makanya, dokter itu disebut Profesional demikian juga Profesi lainnya seperti Pengacara semua memiliki Kode Etik sendiri.
Catatan arcus, menurut Kamus Besar Bahasa indonesia (KBBI), kata profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian keterampilan, kejuruan, dsb. Dari arti katanya, maka pendeta adalah profesi, karena pengangatan seorang menjadi pendeta oleh sebuah Sinode Gereja dilandasi atas dasar keahliannya dalam mengajar hukum-hukum Allah.
Pendeta itu seharusnya masuk dalam kategori profesional karena bidang kerjanya lebih kepada counseling atau pelayanan dimana ia berada. Bahkan kalau dilihat dari ritme kerja pendeta dibanding psikolog beban pendeta lebih berat dari seorang psikolog. Seorang pendeta GPIB di jemaat , misalnya, ia bertanggungjawab untuk melayani semua anggota keluarga di jemaatnya. Sedangkan psikolog tidak seberat yang dilakukan oleh seorang pendeta. Psikolog bisa dikatakan temporer dalam melakukan aktifitasnya.
Seorang pendeta GPIB mengatakan, penentuan pendeta itu profesi atau bukan sudah lama bergaung. Hanya saja sampai saat ini tidak pernah ada kejelasan.
“Ia, setahu saya sudah lama isu ini bergulir. Sayangnya, tidak pernah ada kelanjutannya,” tutur pendeta perempuan ini sembari menyebutkan bahwa di GKI hal tersebut sudah diatur sedemikian rupa. Artinya, pendeta tidak lagi memikirkan hal-hal lain selain pelayanan.
Mencari kebenaran tersebut, sebuah blog Nuryanto Gracia mengatakan, jika mau ditilik lebih dalam, sebenarnya Pendeta juga merupakan profesi. Mengapa? Ada tugas layaknya profesi tertentu yang harus dilakukan secara profesional.
Ada etika jabatan, misalnya, masalah anggota jemaat tidak boleh diceritakan keluar. Ada penghasilan, setiap Sinode Gereja memiliki perhitungan sendiri untuk penghasilan pendetanya, ada yang didapat dari persembahan dan persepuluhan, ada yang didapat dengan perhitungan gaji seperti PNS, dan ada yang didapat dari perhitungan lainnya yang tidak mengikuti gaji PNS. Pendeta itu lebih kepada profesi, ada ilmu yang harus dikuasai. Untuk fakultas teologi harus kuliah 4-5 tahun.
Argumen yang menolak pendeta sebagai profesi karena bagi mereka pendeta adalah panggilan. Tapi pertanyaannya, apakah profesi yang lain bukan panggilan? Hal ini akhirnya bisa menimbulkan eksklusifikasi jabatan. Seakan pendeta adalah jabatan yang turun dari langit. Padahal sesungguhnya semua profesi adalah panggilan. Setiap kita mendapatkan panggilan hidup masing-masing. Ada yang dipanggil jadi pendeta, ada yang dipanggil jadi tukang sulap. Setiap panggilan itu harus dijalani dengan penuh kesungguhan.
Pendeta itu bekerja 7 hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari secara prinsipil. Apa kerjanya? Banyak sekali. Semakin besar gerejanya, semakin banyak tugasnya. Tugasnya cuma khotbah? Itu hanya sebagian sangat kecil dari tugas pendeta. Di luar itu ada banyak sekali tugas yang bahkan membuat mereka sulit untuk sekadar jalan-jalan menikmati hidup. Bahkan ada pendeta yang jadwal tugasnya sudah ditentukan 1-2 tahun sebelumnya.
Pdt Markus F. Manuhutu pernah mengatakan jadikan pendeta sebagai panggilan dan jangan jadikan pendeta sebagai profesi atau pekerjaanmu. Pendeta adalah panggilan berarti pendeta seumur hidup.
“Pendeta sebagai profesi berarti menghitung jam kerja. Layaknya seorang direktur perusahaan yang bekerja mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore. Pekerjaannya dihitung dalam satuan waktu. Di luar jam itu ia bukan direktur lagi,” tuturnya.
fsp