Gereja harus mendorong warganya berpartisipasi aktif dibidang politik dan kemasyarakatan melalui jalur-jalur yang tersedia berbasis kompetensi dan kualitas serta integritas personal.
Regulasi pemberian kuota 30 persen bagi perempuan harus dilihat sebagai peluang yang kondusif bagi perempuan. Karena peluang itu kalau tidak dimaknai secara positif, arif dan bijak dia hanya akan menjadi regulasi pelengkapan kalau bukan pemanis.
Demikian pendapat Pdt. Dr. Liesye A. Sumampouw berbicara dalam forum diskusi Zoom Meeting bertema “Peluang Partai Kristen 2024: Perspektif Perempuan” yang dilaksanakan Pewarna Indoneia, Selasa 19 Mei 2020.
Partai-partai politik berlabel kristen atau nasionalis harus didorong untuk secara sadar melibatkan perempuan secara proporsional dan kualitatif dalam percaturan politik. Gereja dan atau lembaga keistiani harus mempersiapkan secara terencana dan kualitatif perempuan yang terlibat dan akan terlibat.
“perempuan perlu memperlihatkan kapasitasnya. Bukan sekedar hadir, tapi untuk apa ia hadir, apa makna kehadirannya. Dibutuhkan perempuan yang kualitasnya handal, integritasnya kokoh dan punya jaringan seluas mungkin demi tujuan dan cita-cita bangsa,” tutur Liesye.
Namun dalam hal membuat partai kristen, Ketua Umum Gereja Protestan Indonesia (GPI) ini mempertanyannya. “Membuat partai kristen dalam tanda kutip apa yang mau dijual? Visi misinya samakah dengan partai lainnya. Porsoalan internal kristen adalah gereja tidak bisa bersatu, berbeda secara idiologis. Sementara dorongan dari arus bawah sangat kuat mendirikan partai Kristen.”
“Apakah konteks kita bernegara kini dan untuk prediksi 2024 harus berpikir dan bertindak sektarian dan eksklusif. Mari kita kaji lebih jauh mengenai hal ini,” ujarnya.
Visi umat kristen tentang politik dan peran politiknya bervariasi, berdasarkan aliran teologi yang dianutnya. Visi kehadirannya juga berbeda sesuai visi dan kepentingan pendirinya.
“Bermimpi agar terjadi akumulasi suara pemilih kristen melalui partai berbasis kristen adalah sebuah keniscayaan. Karana itu hemat saya ketika masalah-masalah hakiki, mendasar tidak terjadi kesepahaman maka mustahil akumulasi suara pemilih kristen ada di partai berbasis kristen,” kata Liesye.
Angelica Tengker Ketua Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) mengatakan, kesulitan dari segi jumlah kekuatan suara dari sisi perempuan kaum Nasrani ada di mana-mana dan punya peran serta pengaruh. Ini tantangan Iman, yang bisa menjadi kendala pemenuhan kuota dan biasanya partai akan terjebak di sana.
Elisabeth Adolfina Komesak, seorang akademisi dari STT Paulus Medan yang pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati di NTT mengatakan, umat Kristen memiliki sekitar 23 juta populasi, maka potensi dan peluangnya sangat memungkinkan. Modal human capital membutuhkan tokoh nasional pemersatu yang butuh dana politik yang besar sekali.
Namun, katanya, siapa yang akan menyediakan itu. Tapi kalau semua bersatu pasti bisa ditangani. Kedepan perbaiki komunikasi, satukan visi dan misi supaya kepentingan Kristen terpehatikan.
Clartje Tamawiwy Ketua BPHJ Hermita Syallom, perempuan dalam diri punya kekuatan unik walaupun sering di anggap lemah. Tapi perempuan adalah mitra laki-laki, demikian juga dalam perpolitikan dalam sejarah ketertarikan perempuan dalam perpolitikan selalu meningkat.
“Dengan kemuculan parpol kristen akan memberi ruang gerak lagi kepada kaum perempuan untuk menyuarakan kepentingan dan eksistensinya,” imbuhnya. /fsp