MANUSIA adalah makhluk yang selalu gelisah. Ia tidak pernah berhenti mencari. Ia mencari tujuan kehidupannya. Uang tidaklah cukup untuk memuaskan keinginan hatinya. Kekuasaan tidak berarti jika orang sudah mati. Lalu orang bertanya makna kehidupan ini. Mengapa orang harus berjuang? Mengapa ia harus mencari uang dari pagi hingga sore hari? Mengapa ia harus bergumul dengan permainan politik yang begitu rumit dan kadang-kadang sangat sadis?
Manusia terlalu sibuk sehingga ia tidak sampai merenung “makna” dibalik semua itu. Atau mungkin ia takut, untuk melihat secara “telanjang” kehidupannya sendiri. Ia takut dan ia menyibukkan diri. Dalam keadaan ini, nuraninya tidak menjadi hening dan bening.
Hidup yang bersifat egois tidak dapat melihat kenyataan sebagaimana adanya. Dunia adalah untuk dia. Manusia seperti itu tidak mampu melihat dunia dengan mata yang jernih.
Tahu Batas
Kegelisahan terjadi karena orang tidak tahu batas. Akar dari semua itu, ialah bahwa manusia tidak mapu melihat dirinya sebagai makhluk yang terbatas. Manusia hidup “seolah-olah” mampu menjangkau semuanya. Tembok pembatas selalu ingin dirombak. Tetapi ia gagal lalu ia menjadi gelisah.
Kaum Epikurian sebenarnya mengajarkan hal yang sangat menarik. Kita ingin senang, tetapi harus tahu batas agar kesenangan itu sungguh dinikmati. Orang senang dan merasa nikmat makan enak. Tetapi ia tidak merasa enak lagi, jika ia makan terlalu banyak. Hal yang berlebihan itu selalu menimbulkan rasa tidak enak. Madu yang manis, terasa “pahit” jika diminum terlalu banyak. Daun pepaya yang pahit itu, terasa enak, jika dinikmati dalam porsi yang pantas.
Orang desa tahu batas dalam mengerjakan kebun. Petani desa akan tahu kapan sebuah lahan dibuatkan kebun. Orang akan melepaskan sebuah kebun agar ditumbuhi pepohonan selama beberapa tahun. Mereka mencari tempat yang lain untuk berkebun sebelum kembali ke tempat yang lama.
Ajaran moral, ajaran agama dan petuah-petuah luhur lainnya, mengajar orang untuk tahu batas. Dalam setiap agama, orang diajar dan dituntut untuk berjuang, untuk bekerja keras. Tetapi perjuangan dan kerja keras tidak boleh menjadikan orang lupa akan batas kehidupan. Keheningan dan kebeningan nurani, dicapai antara lain dalam kepekaan dengan situasi sekitar. Perang atau pertarungan tidak membawa orang kepada hati yang tenang. Ia hanya memikirkan malapetaka yang dapat dilimpahkannya pada orang lain. Orang seperti itu tidak peka dengan situasi sekitarnya. Hati nuraninya menjadi tumpul dan tidak mampu menjadi bening dan hening.
Diri orang lain dan situasi sekitar kita adalah cermin dari diriku sendiri. Tindakanku yang menyangkut hidup sosial, dapat kulihat pada orang, khususnya pada orang yang berada dalam tanggung jawabku. Semakin tinggi kedudukanku dalam status sosial, semakin besar pula tanggung jawabku pada orang lain.
Seorang Ketua RT akan melihat dirinya dalam kehidupan RT-nya. Suatu kelurahan menjadi maju, merupakan crmin dari usaha Kepala Lurah. Situasi sekitar yang disebabkan oleh usahaku menunjukkan keberadaanku.
Orang tidak mungkin mencuci tangan dari keadaan sekitarnya. Orang yang suka mencuci tangan, menempatkan banyak topeng didalam dirinya. Orang yang suka bertopeng dalam kehidupan akan mencari kambing hitam untuk membebaskan dirinya dari kesalahan atau tannggung jawab.
Diatur Waktu
Manusia modern sering gagal untuk melihat dirinya lebih mendalam. Salah satu sebab dari kegagalan ini ialah manusia modern diatur oleh waktu. Atas nama kekurangan waktu, ia tidak mampu melihat dirinya secara jernih. Ia terlalu sibuk untuk memikirkan hakikat keberadaannya di dunia. Manusia modern sering tidak mampu mengatur waktu, ia sebaliknya diatur oleh waktu. Ungkapan seperti “waktu adalah uang” menunjukkan bahwa manusia diatur oleh waktu.
Manusia yang hebat dalam dunia modern adalah manusia yang “tahu” membuat dirinya sibuk. Kesibukan membuat orang hidup dalam keadaan “ekstasis”. Dalam hal ini kesibukan menjadi sebuah kenikmatan. Dengan demikian, orang tidak begitu peduli dengan “dirinya sendiri”.
Kecenderungan manusia ialah tidak mau tahu batas. Pada awal era modern, orang dianggap tolol, jika ia memikirkan terlalu banyak batas-batas dalam hidupnya. Orang yang memikirkan batas yang dibuat oleh ajaran agama, dicap sebagai orang kerdil. Orang seperti itu belum lahir sungguh-sungguh sebagai manusia. Demikian seruan yang disampaikan orang pada zaman Renaissance.
Teknologi adalah hasil pergumulan manusia di era modern. Tetapi teknologi sering membuat manusia tidak tahu batas dalam hubungannya dengan alam. Kecanggihan mesin-mesin, membuat manusia tidak tahan untuk memotong pohon di hutan.
Teknologi lebih mengarahkan manusia ke luar, bukan ke dalam dirinya. Ungkapan bahwa manusia harus lebih kreatif, lebih produktif, menunjukkan bahwa manusia perlu keluar dari dirinya sendiri. Agar efektif, orang perlu menggunakan hasil teknologi.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi manusia tidak menjadi hening dan bening. Keheningan dan kebeningan nurani, hanya diperoleh jika orang jujur dengan dirinya sendiri. Ia mau mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri termasuk tindakan yang tidak sesuai dengan kehidupan moral. Tetapi seperti dikatakan Agustinus, orang tidak mapu mengenal dirinya sendiri secara tuntas. Tetapi Tuhan mengetahui diri kita lebih baik daripada kita sendiri. Karena itu keheningan dan kebeningan nurani tanpa sikap menyerah kepada Sang Ilahi, tidak mungkin dicapai.
Karena itu, dalam fenomenologi agama, dalam penyerahan kepada sang Ilahi, manusia mampu mengenal dirinya. Dalam ketidaktahuannya tetapi dengan sikap menyerah kepada Sang Pencipta, ia menjadi “tahu” akan dirinya. Dihadapan Tuhan, manusia tidak mampu menipu. Semuanya menjadi transparan menjadi bening bagaikan kolam air di tengah hutan yang bening.
Oleh: Dr. WAHYU LAY, GPIB CIPEUCANG JONGGOL BOGOR