Jakarta,GPIB – Rabu (1/4) pukul 19.25 WIB saya mengirimkan teks WA ke Pdt. Melkisedek Puimera, Ketua II Majelis Sinode GPIB. Saya mendapat kabar bahwa Pdt Eka- sapaan akrabnya- sudah pulang dari rumah sakit dan bebas dari virus COVID-19. Tak berapa lama, pesan saya dibalas dengan tulisan, Saya senang sekali tapi saya masih harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Tapi bagaimana caranya? demi menguatkan saudara yg lain saya siap. Caranya silakan diatur. Maka terjadilah percakapan dengan Pdt. Melkisedek.
Puji Tuhan, saya mengalami kebaikan Tuhan dan saat ini saya baik-baik saja, demikian percakapan awal bersama Pdt. Melkisedek. “Awalnya tanggal 4 dan 5 Maret, badan terasa demam tapi tanggal 7 dan 8 Maret saya harus ada di Palembang bersama ibu Susy. Dan tanggal 7 pagi saat tiba di bandara Palembag saya langsung dibawa ke IGD RS Siloam karena panas tinggi. Dan saya minta untuk disuntik saja karena saya harus presentasi disore hari. Dan pulangnya hari Minggu tiba di Jakarta langsung masuk ke Rumah Sakit Elisabeth dengan gejala sama, yaitu demam tinggi dan batuk sedikit-sedikit.”
“Saya di Rumah Sakit Elisabeth dari hari Minggu hingga Rabu dan saya dinyatakan sembuh, dan saya pulang ke rumah, namun hari Jumatnya (13/3), badan saya terasa sangat panas sekali. Dan kemudian saya periksa ke rumah sakit lalu foto torax. ” katanya.
Dan Hari Minggu sore, menurut Pdt. Eka, ia pergi ke IGD RSPI karena sudah tidak tahan dan badannya sangat lemas. “Saya sampai di sana melihat antrean sudah panjang dan ketika para dokter dan suster melihat kondisi saya, langsung menopang dengan kursi roda. Dan dari sanalah saya mulai dirawat tanggal 15 Maret,” katanya.
Di IGD kata Ketua II MS, ia dirawat selama empat hari. “Saya harus masuk di ruang isolasi kurang lebih jam 9 malam. Suasana hati berubah drastis, tidak ada siapa-siapa di sana. Namun dokter dan suster memberi kata-kata semangat pada saya. Saya menjalani malam pertama itu sendirian bersama Tuhan Yesus di ruang isolasi, tidak ada siapa-siapa di sana,” tuturnya
Masa isolasi di malam pertama menurut pengakuannya, ia bertanya dalam hatinya, apakah ada hari esok karena saya sendiri? Sehari sebelumnya, saya mengingat pesan dari Prof. John Titaley, dia bilang begini, Tuhan tidak hilang begitu saja, dia selalu hadir dalam kehidupan orang yang lelah bahkan orang yang kalah, jangan putus asa, tetap berharap, Dia ada. Saya hanya mengingat itu dan juga teman-teman lain, para pendeta, penatua, diaken, Jemat, para dokter dan suster juga petugas cleaning service yang memberi semangat untuk melawan virus itu. Dan itu membuat iman saya teguh sehingga menambah imun saya.
“Ketika saya dibangunkan oleh seorang perawat mau infus, dan saya terjaga dan… oh … saya merasakan bahwa masih ada hari esok. Itu yang membangun semangat dan saya bersyukur berterima kasih. Dan saat wawancara ini, saya sangat semangat sekali membagi cerita,” ucapnya.
Pdt. Melkisedek juga bercerita sangat bersyukur dengan perawatan para dokter serta semua staf RSPI dengan kebaikannya dan secara rutin melayani. Hingga hari Minggu (29/3) setelah ia diperiksa oleh dokter dan menyebut bahwa bapak sudah bersih, tinggal swabnya. “Semuaya sudah beres, saya akan kejar swabnya dan semoga bapak segera kembali ke rumah. Mendengar kata dokter itu saya duduk tersungkur dan bersyukur dengan berita itu,”.
Dan hari ke 15 pada waktu malam, tiba-tiba ada informasi ke ruang isolasi, “Pak Melki, malam ini bapak bisa pulang.” Dan kemudian semua diurus dan esoknya (Selasa/1/4) Pdt. Melkisedek bisa pulang.
Masa Penantian Hasil, Masa Tersulit
Gejala demam juga dialami oleh Vikaris Ergon Pranata Pieters yang menjalani tahun pertama masa vikariatan di GPIB Ebenhaezer, Palangkaraya.
“Saya ikut juga ke PST, pulang tanggal 29 Februari dan tanggal 1 Maret sudah sampai di sini (-Palangkaraya). Dan tanggal 18 Maret saya demam, batuk dan diajak mentor ke UGD dan saya dinyatakan sebagai PDP. Setelah 6 hari setelahnya saya dinyatakan positif dan hari ini, hari ke 15 (Rabu/1/4) di rumah sakit, siangnya saya dikabari bahwa saya negatif dan boleh pulang. Sebelumnya jam 1 diadakan press conference untuk tanya jawab karena saya pasien yang sembuh kedua. Yang pertama sembuh tapi ternyata beberapa saat kemudian meninggal karena sakit jantung,” kata Vik. Ergon lewat saluran telpon.
Gejalan awal berupa demam dengan panas dingin serta vertigo dirasakan oleh Vik. Ergon. “Setelah dibawa ke UGD mereka melhat rekam perjalanan saya dan akhirnya saya dinyakan PDP,” tambahnya.
Kata Vikaris Ergon, masa-masa terberat adalah ketika menantikan hasil pemeriksaan apakah negatif atau positif.
“Ada pengharapan bahwa saya negatif, tapi ada juga pemikiran bisa jadi positif. Masa kehancuran sebetulnya ada di masa-masa sebelum dinyatakan positif. Kehancurannya adalah pikiran saya ke jemaat. Bagaimana jemaat nanti penerimaannya atau tanggapan mereka tentang kejadian ini, karena saya dengar bahwa vikaris lain atau pendeta lain sempat dikucilkan. Itu yang membuat tubuh saya down, akhirnya sesak. Saya pikir itu bukan penyakit tapi terlalu bimbang. Tapi besok paginya setelah membaca WA dari jemaat dan mentor yang mendukung dan mendokan. Itulah yang membuat saya semakin kuat. Sehingga saat saya dinyatakan positif, sudah tidak ada masalah dan menerima itu semua.”
Vikaris Ergon juga menjelaskan, dinas kesehatan setempat mendata seluruh warga jemaat dan mendatangi satu persatu serta memberitahu bahwa mereka ODP. “Mereka diimbau untuk disolasi di rumah selama 14 hari dan diberikan obat. Hingga saat ini mereka belum ada gejala,” ujarnya.
Ia juga merasakan perlakukan dengan baik oleh pihak rumah sakit. “Selain doa dari jemaat dan perawatan dari rumah sakit yang bisa menguatkan bagi mereka yang sakit. Kita juga perlu semangat, meski dalam kondisi masa-masa isolasi dan tidak perlu kuatir karena Tuhan selalu menyediakan segalanya,” katanya menutup percakapan. (lip)