Pendeta GPIB belajar saja, baca buku, bikin khotbah yang baik, bikin konseling, pembinaan. Yang bahas masalah strategis ada tim. Sistem ISO ini ada pembagian tugas dan wewenang, sehingga pendeta tidak terlalu berat,
JAKARTA, GPIB.or.id – Bagaimana seharusnya menata gereja agar bisa bertumbuh dan memberi kepuasan bagi warganya. Gereja butuh ISO 9001 untuk mengukur kinerjanya. Tantangan apa saja agar gereja bisa mengalami pertumbuhan. Benarkah beban tugas pendeta terlalu berat? Pdt. Dr. Margie Ririhena – De Wanna dan Ir. Gilbert Nisahpih, MM memaparkannya.
Gereja kini berada dalam arus perubahan yang deras. Menurut Pdt Margie, segala sesuatu di alam ini berubah termasuk mengubah pola bergereja yang mau tidak mau mengubah penatalayanan.
Gereja menjadi produktif ketika cara menggereja itu diperhatikan dengan sungguh, menghiraukan konteks partisipasi umat dalam keterlibatannya membangun kebersamaan, in common experiences. Gereja harus likuid, jangan ada yang terbaikan.
“Gereja yang sadar konteks adalah gereja yang merumuskan dirinya terus menerus dalam menjawab konteks yang ada, bahkan dalam perubahan yang massif yang sedang terjadi hari-hari ini, satu tahun lebih kita mengalami perubahan massif,” tandas KMJ GPIB Zebaoth ketika berbicara dalam forum zoom “Pembinaan Peningkatan Penatalayanan Gereja” GPIB Zebaoth Bogor, Sabtu 7/8/2021.

Pandemi ini, tuturnya, tidak boleh dianggap sekadar numpang lewat dalam hidup. Harus berefleksi sekaligus melakukan proses pemetaan persoalan di jemaat, berapa banyak jemaat yang terdampak. Diperlukan database untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari Pandemi ini.
“Berapa jemaat yang bisa mengakses internet, berapa jemaat yang belum bisa beribadah sama sekali, berapa banyak jemaat yang terdampak secara ekonomi, berapa yang PHK, berapa banyak jemaat yang mengalami psico social,” tandasnya.
Gereja sejatinya adalah sahabat yang ramah, yang inklusif yang mengupayakan jejaring kerja sama melalui berbagai bentuk. Dialog interspiritualitas harus dilakukan sebagai gereja yang sadar akan konteksnya.
Tahun 1968 Domenee Maitimoe mengatakan GPIB adalah gereja pertama di Indonesia sebagai gereja misioner. Artinya seluruh unsur pelayanan, seluruh jemaat adalah pelaksana visi Allah.
“Kalau masih ada pendeta centris, presbiter centris, semua jemaat dianggap tidak bisa hanya presbiter yang bisa dan pendeta yang bisa, hanya diaken panatua yang bisa maka kita sedang bergerak di belakang tahun 1968,” kata Pdt Margie yang juga Ketua Bidang Teologi dan Oikumenisme PIKI ini.
Gereja punya kecenderungan sibuk dengan dirinya sendiri, sibuk dengan urusan didalam gereja dan menutup diri untuk berelasi dengan yang lain. Kapitaslisme dan globalisasi melahirkan budaya persaingan tinggi memasuki ranah kehidupan bergereja yang memunculkan persaingan antar sektor, antar warga, antara presbiter.
Ia juga menyoroti relasi kepemimpinan yang top-down dan hirarkis, minimnya keterlibatan generasi anak dan muda dalam kegiatan gereja, kurangnya evaluasi terhadap progam kerja, komunikasi yang tipis antara gereja dengan jemaat.
“Jadi kalau kita bicara tentang globalisasi dan milenial ada ancaman, presbiter yang cenderung memperbandingkan gereja satu dengan gereja lain. Kurangnya animo jemaat dalam kegiatan, minimnya relasi yang hangat dalam keluarga, gap tingkat pendidikan dan ekonomi. ini ancaman kalau tidak di jembatani dengan baik.”
Jadi, katanya, libatkan banyak orang dalam pelayanan, dan jangan yang itu-itu saja. “Saya tidak melihat banyaknya orang sebagai kelemahan tapi itu adalah kekuatan,” imbuhnya.
Lalu apa yang mesti dilakaukan agar gereja bertumbuh? Ir. Gilbert Nisahpih, MM yang akrab disapa Gelly ini mengungkapnya. Kata kuncinya ada di database dan sistem manajemen.
Menurut Gelly, database dan sistem manajemen yang baik bisa menjawab persoalan yang ada di jemaat. Dari sistem yang bagus akan bisa dilakukan analisa dan evaluasi untuk mencapai pertumbuhan.
Database perlu, misalnya, bagaimana kondisi anak-anak di Jemaat, bagaimana orangtuanya, adakah persoalan rumah tangga, mungkin ada yang kena narkoba, tingkat pendidikan, profesi dll.
“Gereja harus membuat buku profil, kalau di perusahaan disebut Company Profile dan membuat rencana strategis sendiri dan harus in line dengan PKUPPG,” tutur Gelly yang juga Business Development Director PT Samindo Resources Tbk ini.
Gereja harus membuat daftar tentang stakeholdernya siapa saja? Stakeholder adalah pihak-pihak yang terus berhubungan dengan gereja. Dan memberi penjelasan, apa hubungan dengan semua stakeholder. Gereja harus punya Standar Operasional Prosedur atau SOP atau PPMJ.
“Hanya saja, di PPMJ yang kita punya sekarang itu tidak detil, kalau kita berpicu pada ISO 9001 SOP itu harus 5W 1H, what, why, where, when, how. Semua aktivitas harus ada uraiannya seperti apa. Tujuannya apa, supaya semuanya teratur,” papar Gelly. GPIB Jurangmangu Tengerang, dan GPIB Gibeon sudah memulai penerapan ISO 9001.
Ia menganjurkan, tetaplah menggunakan aturan yang ada di GPIB tapi juga menerapkan ISO agar sasaran lebih tepat dan terkoordinir. Tanyakan ke jemaat tentang permasalahan yang dihadapi, tentang kepuasan bergereja, tentang bagaimana majelis melayani, tentang bagaimana anak sekolah minggunya puas atau tidak, bagaimana ibadah rumah tangga.
Lihat jumlah kolektenya, lihat dari jumlah kehadiran, permasalahan yang diselesaikan. Sajikan dalam angka-angka sehingga bisa dilihat pertumbuhan gereja dari waktu ke waktu.
Dalam ISO, ada management review, jika ditemui kesalahan akan ada corrective action. Dari sini akan diketahui gereja itu bertumbuh atau tidak. ISO akan memastikan gereja itu bertumbuh atau tidak.
ISO mengharuskan punya tim audit, auditor. GPIB punya BPPJ yang mengaudit juga tapi yang diaudit hanya keuangan. ISO tidak hanya mengaudit keuangan tapi juga mengaudit sistemnya, proses kerjanya dijalankan atau tidak, sasaran tercapai atau tidak, program kerja dilaksanakan atau tidak.
Audit penting, karena dari audit akan tahu kelemahan tahu mana yang tidak tercapai. Gelly melihat analisa dan evaluasi juga sangat kurang dilakukan. Analisa dan berbagai aspek harus dilakukan.
Beban kerja pendeta atau KMJ di GPIB juga perlu ditinjau. Terlalu besar beban kerja dan banyaknya tugas-tugas yang dikerjakan oleh pendeta-pendeta GPIB, dari urusan pelayanan sampai mengurus gaji, inventaris motor kantor, mobil dll.
“Saya beberapa kali diminta diskusi di GKI dam GKJ. Di GKI melihat pendeta tidak mengerjakan semua. Tugas pendeta itu khotbah, konseling dan pembinaan, itu tiga tugas utama. Yang lain-lain ada tim yang mengerjakan,” papar Gelly.
Kalau GPIB, katanya, kelihatannya pendetanya super power, semua dikerjakan. Tugas pendeta jangan mengerjakan semuanya, kalau di GKI urusan manajerial, urusan administrasi dsb itu ada tim sendiri. PHMJ-nya menjadi manajer-manajer yang mengelola dengan baik.
Gelly mengusulkan, pendeta GPIB belajar saja, baca buku, bikin khotbah yang baik, bikin konseling-konseling, pembinaan-pembinaan. “Jadi yang membahas masalah strategis ada tim. Dengan sistem ISO ini ada pembagian tugas dan wewenang, sehingga pendeta tidak terlalu berat,” imbuh Gelly. /fsp/arcus