Dalam era globalisasi orang sebenarnya menjadi terbatas. Kita ditentukan dan diarahkan oleh teknologi. Pada zaman modern manusia ditentukan dan diarahkan oleh buah karyanya sendiri.
Oleh : Dr. Wahyu Lay, GPIB Cipeucang, Jonggol - Bogor
Dalam era globalisasi terjadi sebuah drama kehidupan yang tidak diduga sebelumnya. Hidup manusia dalam tata irama modern, menjadi semakin transparan. Kemajuan teknologi membuat manusia mengenal orang lain dengan lebih gampang dan lebih cepat.
Kemajuan ilmu pengetahuan khususnya psikologi menjadikan orang terbuka bagi orang lain. Ilmu pengetahuan bagaikan jendela. Lewat jendela-jendela itu, manusia mencoba menerobos inti kehidupan manusia yang terdalam. Ilmu pengetahuan sering merasa bahwa ia mampu memahami misteri kehidupan manusia.
Lewat satelit orang dapat mengintai orang di benua lain. Lewat surat kabar kita dapat memahami keruntuhan hidup keluarga para bintang film dan keturunan darah biru. Dengan detektor kita dapat mencek seseorang berbicara benar atau berbicara bohong. Dengan pengetesan bakat, masa depan orang dapat diramalkan. Akibatnya tidak ada yang sisa lagi dalam dirinya untuk dirinya sendiri. Ia menjadi “milik” bersama.
Aku atau Kita
Berfaham global sering diartikan bahwa manusia harus meninggalkan keakuannya. Proses globalisasi sering ditanggapi sebagai proses pangalihan dari “aku” ke “kita”. Duniaku kini harus menjadi dunia kita. Sering diterima pendapat bahwa orang yang matang adalah orang yang meninggalkan keakuannya.
Akibatnya struktur sosial menjadi lebih penting daripada individualitas seseorang. Akibatnya kita lebih melihat profesi, asal-usul daripada si Andang, si Lukman. Melihat profesi dan asal-usul berarti melihat orang dalam sebuah struktur.
Dalam konteks globalisasi kita perlu melihat kembali eksistensialisme. Pertama, eksistensialisme tidak cuma-cuma menekankan keunikan pribadi, otonomi manusia. Kaum eksistensialis sering menekankan orang tertentu ini. Mereka menekankan bahwa, Joko tidak pernah mempunyai duplikat atau lahir kembali persis sama dengan dia. Itu berarti kita harus menerima keakuannya.
Kedua, eksistensialisme menolak struktur masyarakat yang menekan individu. Pengalaman Perang Dunia I dan II membuat manusia sadar bahwa ia selama ini ditekan oleh sebuah struktur yang sangat otoriter. Fasisme dan Nazi membuat manusia menjadi robot dari sebuah struktur masyarakat yang menghasilkan mesin perang. Manusia kehilangan keakuannya.
Tidak dapat disangkal bahwa perilaku manusia ditentukan oleh struktur masyarakat yang ada. Ia adalah buah dari warisan budaya leluhurnya. Ia bernafas dalam nilai-nilai budaya yang sudah berakar dalam masyarakat. Seorang Jawa tidak mungkin dapat melepaskan diri 100% dari adat istiadat Jawa. Seorang Menado menghayati kehidupan sesuai dengan warisan perilaku yang turun temurun dalam masyarakat Sulawesi Utara.
Dalam arti tertentu individu tergantung pada masyarakat atau lingkungan sosial. Tetapi individu menentukan kehidupan sosial. Mutu suatu masyarakat tidak terletak pada struktur tetapi pada individu yang ada di dalamnya. Sumber Daya Manusia menjadi penentu dalam perkembangan suatu masyarakat.
Karena itu “aku” dan “kita” tidak boleh dipertentangkan. Keakuan seseorang menandakan bahwa ia adalah pribadi yang unik dan tidak sama dengan anak tetangga. Dengan “kekitaan”, kita menekankan struktur dimana kita disuapi oleh orang tua kita dengan nilai-nilai budaya dan agama.
Masyarakat dan individu saling menentukan. Individu yang sehat akan membuat masyarakat sehat. Struktur masyarakat yang baik akan menentukan perkembangan dan dinamika kehidupan individu.
Model Kreativitas Baru
Dalam era globalisasi orang sebenarnya menjadi terbatas. Kita ditentukan dan diarahkan oleh teknologi. Pada zaman modern manusia ditentukan dan diarahkan oleh buah karyanya sendiri. Komputer, misalnya menentukan dan mengarahkan cara kerja seseorang.
Seorang teman menjadi sangat sedih karena tulisannya yang sepanjang delapan halaman hilang begitu saja, ketika tiba-tiba aliran listrik berhenti, Ia lupa merekamnya. Selama setengah jam ia duduk termenung dan menjadi sedikit putus asa. Jika ia mengetik bahan itu pasti masih ada.
Dalam era teknologi manusia dituntut untuk menjadi taat dengan alat hasil karyanya. Orang tidak semaunya menjalankan mesin. Kreativitas sering terhambat oleh kecanggihan teknologi. Manusia yang taat pada alat-alat yang dihasilkan memberikan hasil yang memuaskan.
Tetapi kreativitas yang murni dari dalam batin manusia pada masa sekarang ini sering terhambat oleh pengaruh dari luar yang begitu besar. Kreativitas sebagai salah satu ekspresi jati diri seseorang menjadi kurang. Karena itu jati diri manusia sulit dikenal oleh dirinya sendiri. Bahaya yang paling besar dari merosotnya jati diri ini ialah manusia hidup tanpa dinamisme. Ia hidup secara mekanistis. Ia hidup bagaikan mesin.
Karena itu, manusia perlu memperkuat jati diri dan dinamisme yang muncul dari dalam tanpa menghancurkan alat-alat modern yang dihasilkannya. Dalam hal ini model kreativitas baru perlu dimunculkan.
Negasi
Orang akan menemukan model kreativitas baru dengan mengukuhkan sikap negasi. Maksudnya benda-benda sebagai hasil teknologi diterima, tetapi semua itu bukan dirinya sendiri. Ia harus bebas menentukan penggunaan alat-alat modern itu, sehingga ia menjadi manusia yang tidak dipenjarakan oleh teknologi, mesin cuci, alat cukur dan sebagainya.
Dalam hal ini manusia perlu kembali merenungkan dirinya. Ia bukanlah budak mesin. Dalam hubungan dengan ini, manusia perlu mengambil sikap “seolah-olah”. Ia memiliki alat-alat modern seolah-olah ia tidak memilikinya. Ia memiliki komputer seolah-olah ia tidak mempunyai.
Sikap Konsumerisme membuat manusia tidak mampu meningkatkan kreativitas dalam dirinya. Ia manusia yang hanya menikmati dan tidak mau menghasilkan. Tujuan hidupnya hanya untuk menikmati bukan menghasilkan.
Teknologi yang memacu proses globalisasi dapat sekaligus menjadi berkat, tetapi juga menjadi penggoda yang merusak. Hal ini tergantung pada manusia. ***