JAKARTA, GPIB.or.id – Tak bisa ditawar-tawar lagi. Anak-anak muda kedepan semakin punya porsi menempati lini kepemimpinan dimanapun termasuk di tataran pelayanan jemaat hingga sinodal. Semangat itu terungkap dari pertemuan sinodal yang digagas Majelis Sinode GPIB belum lama ini yang menghadirkan empat narasumber.
Keempat pembicara itu Roland Loupatty dari Dewan Gerakan Pemuda, Rowland Asfales Pengusaha dari Pijak Bumi, Andi widjajanto Akademisi & Lab Indonesia 2045 dan Pdt Sylvana Apituley Wakil Presiden Persekutuan Gereja-gereja Reformasi se-Dunia.
Pdt Sylvana Apituley dalam forum yang dimoderatori Pdt. Meilani Perangin-angin Risamasu ini mendesak Persidangan Sinode (PS) yang akan digelar Oktober 2021 nanti membuka ruang seluas-luasnya bagi kaum muda terlibat dalam penatalayanan GPIB yang sesungguhnya kedepan.
“Pandemi Covid-19 menyadarkan kita mendesak kita dan memaksa kita untuk menempatkan pemuda sebagai bagian integral dari pelayanan kita. Mereka ada bukan hanya sebagai peserta, pelaksana atau pengikut, sebagai subjek dan ikut memutuskan,” tandas pendeta GPIB ini. GPIB hari ini atau kedepan harus menjadi gereja untuk semua, yang merangkul dan melayani serta memuihkan yang termarjinalkan.
Mantan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia ini juga meminta gereja responsif terhadap perubahan-perubahan kedepan, pergeseran paradigmatik. Menurutnya, perubahan yang terjadi sekarang bukan hanya pada nilai-nilai keseharian tapi menentukan perubahan peradaban. Karena itu GPIB harus adapting dengan perubahan, bagaimana seharusnya rumusan-rumusan pemahaman iman, tata gereja, kurikulum.
“Mengajak manusia, sejauh mana kita peduli bahwa setelah kita dan keturunan kita tidk ada. Manusia diberi kesempatan memikirkan perubahan jangka panjang, merawat bumi agar bisa dihuni oleh species manusia dan lainnya,” tuturnya.
Andi Widjajanto menunjuk soal perubahan struktur oraganisasi. Menurutnya, untuk perubahan struktur oraganisasi, hal terbaik yang memang dibutuhkan. Hanya saja, kata Pengamat Pertahanan ini perlunya meramalkan variaabel-varibel utama untuk perubahan struktur organisasi.
“Organisasi dimana-mana dirancang untuk tidak dirubah, militer dirancang untuk tidak diubah kecuali kita kalah perang. Salah satu yang akan berubah kedepan adalah struktur demografi untuk Indonesia. Jadi siap-siap saja, 30 – 35 persen akan didominasi oleh generasi muda, milenial Y dan Z, 40 tahun ke bawah, tahun 2040,” tandas penasihat senior Kepala Staf Kepresidenan ini.
Roland Loupatty meminta gereja atau GPIB harus menjadi rumah besar yang ramah terhadap kaum muda, mau menerima masukan dari kaum muda. Harapan kaum muda terhadap gereja, yang paling utama kesempatan dan ruang untuk mengekspresikan diri mengeluarkan ide dan gagasan, diberikan ruang melakukan pelayanan.
Kaum muda perlu mendapatkan tempat dan kesempatan, diberi wadah yang luas dari tingkat jemaat hingga sinodal. Saat ini perubahan sedang terjadi dan begitu cepat. Gereja seharusnya bisa menempatkan anak-anak muda terlibat nyata dalam pelayanan.
“Potensi kaum muda dinamis, kreatif, berbela rasa, critical thinking, berani mewartakan kabar sukacita,” tandas Roland menyebutkan bahwa kaum muda harus terus mendapat perhatikan. Itu karena potensi kaum muda yang suka bersosialisasi dan suka mengikuti berbagai komunitas, berpikir out of the box, mahir mengoptimalkan teknologi dan informasi, dan percaya diri.
“Di PS harus membuat sebuah kebijakan yang dapat diejawantahkan terbuka dan ramah terhadap kaum muda, artinya ada kesempatan yang terbuka bagi kaum-kaum muda untuk dapat mengexplore diri dan menyatakan diri, menyampaikan ide dan gagasan dan menjadi subjek bagi pelayanan,” kata lelaki, pekerja di BUMN, Koja Perkapalan ini.
Sayangnya, kata Max Ryan, salah seorang peserta Diskusi Panel tersebut milenials pada PS kali ini tidak akan dapat kesempatan dalam struktur hierarki, itu karena tidak diakomodir. Jadi, katanya, perlu memikirkan struktur untuk menyesuaikan kedepan untuk mengakomodasi generasi milenial.
Karena itu, kata Max, perlunya peninjauan struktur agar kaum muda semakin difasilitasi dan mendapatkan tempat.
Hanya saja, kata Rolando, pemuda itu sendiri memilik tantangan. Tantangan itu spiritualitas kaitannya dengan gaya hidup bebas, narkoba, digitalisasi yang membawa dampak perubahan, dan cara berpikir instan. Anak-anak masih terlihat sebagai kaum rebahan, malas, penuh dengan ego, dan belum matang secara pemikiran. “Kami kaum muda butuh sinergitas yang baik terutama dengan orang-orangtua dan komunikasi yang baik,”ujarnya.
Senada dengan Rolando, Rowland Asfales, Aktivis Gereja dan Pengusaha Muda “Pijak Bumi” mengatakan, agar pemuda bisa lebih nyata dala pelayanan perlu ada wadah untuk berekspresi dan berkreasi sebagaimana anak-anak muda. Namun, Rowland meminta pemuda-pemuda gereja lebih berani menapaki pelayanan nyata tidak hanya jago kendang.
Pengusaha sepatu yang sudah going internasonal ini berharap pemuda gereja bisa sukses dalam pelayanan tapi juga berhasil berkarya sebagai sosok pemuda diluaran. “Kenapa tidak. Pemuda gereja juga sebagai Mejelis tapi juga punya karya bagus diluaran, kaluarganya juga bagus, hidupnya harmonis, dan menghasilkan buah tidak hanya di dalam gereja tapi juga dilingkungannya,” harapnya.
Menurutnya, dalam kehidupan bergereja perlu juga mencari tahu apa yang diinginkan warga jemaat kedepan terhadap gerejanya untuk menjadi masukan. Gereja harus lebih mau mendengarkan apa yang diinginkan jemaat sebagai custumer. Mendengarkan yang diinginkan custumer menjadi sesuatu yang berkesan buat mereka.
“Dari sudut pandang bisnis, kita explorasi yang yang bisa kita buat, ditengah media massa yang memberikan info negatif, begitu kita memberikan info yang berharga. Kebutuhan apa yang bisa kita beri,” tandasnya. Sayangnya, kata alumni ITB jurusan Seni Rupa ini, sering kali anak-anak muda aktif di gereja kuliah telat selesainya.

fsp, arcus