GPIB, Serpong – Lebih dari dua minggu, Marcia Simauw, warga jemaat GPIB Ora et Labora, Serpong, terisolasi dari keluarga dan lingkungannya. Alih-alih terpuruk, waktu di mana ia jauh dari kerabatnya, adalah waktu di mana ia melakukan refleksi terhadap relasinya dengan Tuhan.
“Aduh, Tuhan, ini benar-benar cuma antara aku dan kamu,” kata Marcia. Ia menangis ketika mengingat kembali masa di mana ia berada di rumah sakit. “Pada saat-saat itu, benar-benar enggak ada orang lain.”
Sembuh dari penyakitnya, Marcia mengisahkan perjalanannya dari awal sakit sampai sembuh, bagaimana penyakitnya mengubah perspektifnya tentang hubungan dengan Tuhan dan menghargai kehidupan.
Panas yang Tak Kunjung Sembuh
“Aku mulai sakit sekitar tanggal 5 Maret, badanku malam-malam panas,” kata Marcia. “Tapi belum ada thermometer, aku belum beli. Tapi merasa dingin, sampai aku matikan AC tetap menggigil.”
Marcia tidak berhenti beraktivitas karena ia merasa membaik di pagi harinya. Mengenakan masker, Marcia masih ikut dalam aktivitas kelompok yang membantu orang-orang yang sakit kanker.
dan di Minggu, 8 Maret 2020 nya, Marcia masih pergi ke gereja.
“Aku ingat pendeta di khotbahnya, dia bilang, kita jangan berlebihan takut,” tuturnya. Marcia, yang mengurus bidang teologia dan musik gerejawi di GPIB Ora et Labora, lalu pergi makan dengan tim musik gereja.
Marcia tetap beraktivitas dengan mengenakan masker. Ia rapat Dewan PKP di GPIB Immanuel Jakarta dan bertemu dengan seorang temannya di sebuah kafe di Pasar Baru. Ia juga menyempatkan hadir di acara kebaktian penghiburan Pdt. Samuel Kaihatu.
Karena tidak merasa membaik, keesokan harinya ia pergi ke dokter. Ia didiagnosis flu dan diberikan obat batuk. Di Kamis, 12 Maret 2020, setelah berkonsultasi dengan dokter karena keadaannya tak juga sembuh, ia pergi ke laboratorium dan belakangan diberitahu dokter, kalau dia sakit typhus.
Minggu, 15 Maret 2020, ketika ia akhirnya sudah tidak bisa makan, ditemani adiknya, Marcia pergi ke rumah sakit. Di sana, ia langsung disuruh ke tenda pemeriksaan untuk tes darah dan rontgen.
“Ibu, ini ada diduga, ada penularan virus Corona,” kata Marcia menceritakan apa yang disampaikan dokternya. Dia setengah tidak percaya. Marcia, menuruti anjuran dokter, tetap tinggal di tenda rumah sakit dengan fasilitas yang minim.
Di hari kedua di rumah sakit, petugas melakukan tes swab terhadapnya. Di hari keempat, dokter memanggil keluarganya dan menyampaikan bahwa Marcia positif terinfeksi Covid-19.
Memutuskan untuk Terbuka
Kekuatiran Marcia bahwa ia mungkin menulari orang lain melebihi kekuatiran akan penyakitnya sendiri.
“Ketika aku didiagnosis Covid1919, pikiranku ke orang-orang,” kata Marcia. “Aku berdoa, Tuhan, jangan sampai aku jadi penyebab banyak orang sakit.”
Ketika seorang majelis meneleponnya, ia memberitahukan penyakitnya. Majelis ini menanyakan apakah ia bersedia bila informasi disampaikan ke jemaat.
“Ini kan untuk kepentingan mereka ya, aku pikir kalau mereka tahu, mereka bisa antisipasi,” kata Marcia.
Akhirnya, GPIB Ora et Labora mengeluarkan surat pemberitahuan mengenai penyakitnya ke jemaat.
“Aku enggak apa-apa, orang tahu aku Covid 19, enggak apa-apa. Whatever stigma, aku enggak apa-apa,” kata Marcia.
Dari Tenda Bocor ke Ruang Rawat Besar
Selama seminggu Marcia tinggal di tenda yang panas. Di samping tempat tidurnya, air hujan menetes dari tenda yang bocor. Di sana, ia juga harus berjalan jauh ke toilet.
Ia tak kunjung dipindahkan karena rumah sakit rujukan penuh. Selama proses itu, adiknya terus membujuknya untuk bersabar.
Akhirnya, di penghujung minggu, ia dipindahkan ke RS Siloam Kelapa Dua menggunakan ambulans.
“Saya masuk ke ruangan, seliweran orang pakai APD, aku makin tegang,” kata Marcia. “Aku diantar perawat masuk ke ruang gede, terus ada kamar-kamar gede. Aku dapat kamar besar, tempatnya dingin, tempat tidurnya enak, aku di ujung. Tuhan, ternyata tidak seperti yang aku takutkan.”
Ruangan dengan kapasitas 18 orang itu hanya diisi delapan orang.
“Hari itu, pertama kali kulakukan mandi,” katanya. “Tidak ada pantangan, gerak juga masih dan aku bersyukur aku enggak sesak napas. Di situ, aku bisa tidur dan enggak pernah mimpi buruk.”
Memperbaiki Hubungan dengan Tuhan
Selama di ruang perawatan, berbagai hal membuat Marcia sempat merasa down. Salah satunya adalah berita tentang pendeta yang meninggal di Batam dan tentang rekan gerejanya yang juga meninggal dunia.
“Pada saat-saat itu, ini benar-benar enggak ada orang lain, cuma aku dan Tuhan,” kata Marcia.
Ia merasa belum siap dipanggil olehNya. Ia sempat merasakan ketakutan akan kematian. Selama dirawat, ia merasa kondisinya naik turun. Gula darah sempat tidak stabil. Ia mual dan merasakan jantung berdebar ketika minum obat.
“Di kepalaku, aku paling takut membaca Mazmur 23, ‘aku tidak takut di lembah kekelaman’,” kata Marcia. “Sekalipun aku berjalan di lembah kekelaman, nanti Tuhan, aku belum siap kalau itu terjadi sama aku.”
Namun, pada akhirnya, Marcia kembali bangkit dari rasa down dan merasakan karya Tuhan dalam hidupnya.
“Aku dibentuk sama Tuhan lewat sakitku,” kata Marcia. “Banyak orang bilang habis ini seperti lahir baru. Aku rasanya seperti itu.”
Jawaban Doa Lewat Dukungan Sekitar
Marcia merasakan jawaban doanya datang dari orang-orang di sekitarnya yang tak henti mengirimkan dukungan.
“Ketika aku berdoa, saat itu aku enggak dapat jawaban, tapi aku rasa itu lewat support orang-orang,” tutur Marcia.
Ia bersyukur dengan orang-orang yang terus berkomunikasi dengannya. Ada grup yang suka membagikan cerita-cerita lucu. Ada yang mengirimkan pesan untuk tetap semangat. Ada juga yang bernyanyi untuknya.
“Kata Pita Loppies, ‘Mar, ini lagu buat lo, lo enggak sendirian,” cerita Marcia. “Dia kasih lagu You Never Walk Alone.”
Dukungan serupa dia dapatkan dari Ruth Sahanaya dan dari anak-anak sekolah Minggu yang dilatihnya.
“Ada anak-anak kecil nyanyi Yesus Ada Sobat Kita,” tutur Marcia. “Ketika di rumah, dia nyanyi sama papa mamanya, ‘Ini untuk Kak Marcia’.”
Berbagai dukungan yang mengalir membuatnya optimis bahwa ia akan disembuhkan.
“Di situ aku lihat Tuhan enggak tinggalin aku kok,” kata Marcia. “Marcia, lo mesti sembuh karena banyak yang berdoa. Aku berharap Tuhan memperkenankanku untuk melayani, untuk tetap hidup.”
Menghargai Hidup dan MengenalNya Lebih Dalam
Sepanjang di rumah sakit, ia lima kali tes swab dan tiga kali rontgen. Di pagi hari, 30 Maret 2020, ia dites lagi. Tidak menunggu hasil, siangnya ia diberitahu boleh pulang karena kondisinya stabil.
“Pas dikasih tahu pulang, aku juga takut,” kata Marcia. “Enggak bisa di sini saja ya, sampai batuk kurang? Satu hal yang aku takutin, karena stigma di masyarakat sakit Covid kaya AIDS, menakutkan sekali. Kalau di rumah batuk, apa kata tetangga.”
Akhirnya, Marcia pulang dan kondisinya terus membaik.
“Saya merasa akhirnya Covid ini membuat saya makin mengerti bagaimana menjalankan kehidupan,” katanya. “Aku lebih menghargai kehidupan dan aku lebih lagi mengenal Tuhan aku, melihat Tuhan aku bekerja seperti apa.”
Pengalamannya membawanya berpesan pada mereka yang masih menderita Covid-19.
“Selalu mengadu pada Tuhan, karena di situ kekuatan kita, di situ kita bisa bangkit,” kata Marcia. “Kalaupun tidak langsung, dia kirim orang-orang untuk menghibur dan menyemangati kita. Covid bukan akhir segalanya, dan ini jadi tempat mengenal bahwa hidup sangat berharga dan bagaimana hidup kita miliki Tuhan.”
Selain itu, belajar dari pengalamannya, ia menganjurkan orang untuk terbuka bila terinfeksi karena bisa mencegah orang lain dari kemungkinan tertular.
Bagi warga GPIB yang sehat, ia berpesan untuk tetap tinggal di rumah.
“Stay at home, karena itu berarti menolong diri sendiri dan orang lain,” kata Marcia. (cam/lip)