GPIB, Jakarta – Kebangkitan Nasional yang diperingati tiap tanggal 20 Mei dan peringatan Kenaikan Yesus Kristus yang jatuh pada 21 Mei memiliki kaitan erat bagi warga Kristen. Menurut Pdt. Paulus Kariso Rumambi, Ketua Umum Majelis Sinode GPIB dalam dua peringatan tersebut, harus dimunculkan pertanyaan, apa yang akan manusia kerjakan untuk Tuhan di masa periode setelah kenaikan Yesus Kristus?
“Karena ketika masa kematian dan kebangkitan Kristus, Ia telah melakukannya untuk kita manusia. Sekarang kita hidup di periode setelah Kenaikan Yesus Kristus. Kita diminta melakukan sesuatu untuk Tuhan. Orang-orang yang butuh pertolongan, hiburan dan penguatan di masa pandemi ini makin banyak. Ketika kita melakukan sesuatu untuk mereka yang terdampak oleh virus Corona ini, maka sebenarnya kita sedang melakukan sesuatu untuk Tuhan, mengerjakan sesuatu untuk Tuhan. Dalam kaitannya dengan kebangkitan Nasional dan kenaikan Kristus ke surga, tentu saja kita digugah untuk meningkatkembangkan semangat nasionalisme kita, bahwa sesama anak bangsa itu setara dan dengan demikian kita terdorong untuk melakukan sesuatu buat mereka, terutama yang terdampak negatif virus Corona. Mestinya sebagai gereja terpanggil untuk menampilkan jatidirinya, yaitu diakonia, pelayanan. Itu harus menjadi sebuah gaya hidup kita ke depan sebagai gereja, baik gereja sebagai individu atau gereja sebagai lembaga atau secara kolektif,” kata Pdt. Rumambi, ketika berbincang bersama Radio GPIB, Rabu (20/5) tentang makna peringatan Kebangkitan Nasional dan Kenaikan Yesus Kristus.
Lebih jauh, Pdt Rumambi menambahkan, apa yang dilakukan Satgas Covid-19 sudah cukup bagus namun perlu dipikirkan untuk membentuk satgas lainnya. “Departemen-departemen yang ada harus buat satgas-satgas, seperti satgas pastoral, satgas perekonomian dan lainnya. Banyak yang masih bisa dibuat. Dan semua itu dipahami, dilakukan sebagai sebuah pelayanan untuk Tuhan.”
Dalam perbincangan di program Rehat Malam Radio GPIB, ketika ditanyakan soal pendapatan gereja yang berkurang akibat pandemi, Pdt. Rumambi menjelaskan agar kita tidak bergantung dengan gereja..
“Ini mindset- nya yang harus diubah. Memang kita ini, terutama masalah GPIB ya. Gereja warisan dari Belanda, gereja negara, gereja pemerintah yang semuanya harus difasilitasi. Ketika saya pergi ke Korea tahun lalu, saya melihat di sana gereja, semua warganya memberikan diri kepada majelis, apa yang bisa saya bantu, tanpa uang transport, tanpa apapun. Sudah persepuluhan mereka disiplin, mereka juga memberikan apa yang mereka berikan. Hari ini saya off, apa yang saya bisa bantu, saya siap, jadi tidak ada biaya cleaning service dan jemaat itu aktif. Jadi, kita bisa melihat GPIB ke depan, biaya-biaya rutin yang sangat besar, biaya-biaya organisasi itu musti dialihkan pada biaya pelayanan. Pelayanan kan gaya hidup kita. Diakonia. Justru pada masa pandemi ini, kita lihat, sebagai berkat Tuhan bagi kita untuk mengubah ber-geraja yang baru, yang tidak meminta pada gereja, tapi apa yang saya bisa buat untuk gereja. Itu gaya hidup pelayanan dan itu hakekat gereja. Kalau bukan pelayanan bukan gereja dong,” kata Pdt. Rumambi. (lip)