Pembinaan cuma buat penatua diaken, bayar lagi. Tapi pembinaan untuk pasangan mereka tidak ada, dibiarkan.
JAKARTA, GPIB.or.id – Menyikapi gereja pada umumnya kondisi dan keluarga Kristen saat ini yang disebut-sebut rapuh, tujuh pendeta angkat bicara. Ketujuh hamba Tuhan itu Pdt Alexius Letlora D.Th, Pdt. Dr. Margie Ririhena-De Wanna, Pdt. Dr. Abraham Silo Wilar, Pdt Ebser M. Lalenoh, M.Th, Pdt. Stephen G. R. Sihombing, MTh, Pdt. Rully Antonius M.Pd, dan Pdt. Sulistiyati Solfina S.Th.
“Kita terlalu sibuk dengan fungsional tapi kita melupakan apa yang menjadi hakekat dari bergereja itu. Salah juga kalau hanya memikirkan hakekat tanpa ada gerak fungsional. Dua-dua ini mesti berada pada keseimbangan,” kata Pdt. Dr. Alexius Letlora ketika berbicara di youtube Komunitas Sendal Jepit Senin 5 Juli 2021 yang mengangkat tema Hikikomori, orang-orang yang senang mengasingkan diri.
Gereja harus peduli pada keluarga sebagai basis pelayanan. Pembinaan-pembinaan harus terus dilakukan tidak hanya kepada diaken dan penatua tapi juga kepada keluarga-keluarga pada umumnya.
“Pembinaan cuma buat penatua diaken, bayar lagi. Tapi pembinaan untuk pasangan mereka tidak ada, dibiarkan. Padahal ketika dia (Penatua-diaken) mengalami luka diluar rumah yang mengobati luka adalah orang di rumah dan orang-orang ini sama sekali tidak mendapatkan sentuhan apa-apa, dibiarkan begitu saja,” kata KMJ GPIB Filadelfia Bintaro ini.
Letlora juga mengkritisi sikap pendeta yang sebagai “tuan” dalam pelayanan kaitannya dengan istilah Servant Leader yang sering disebut-sebut pendeta atau pemimpin yang melayani, namun kenyataannya menjadi tuan.
“Kritik terhadap gaya servant leader ini sebagai gaya kepemimpinan yang bicaranya Hamba tapi tapi kelakuannya Tuan. Kita dibentuk dengan atmosfir itu,” tuturnya mencontohkan usai kebaktian, orang antri untuk makan, tapi karena pendeta maka langsung ditaruh paling depan. “Bicaranya saja servant leader, praktiknya kepemimpinan Tuan.”
Gaya-gaya seperti ini, kata Letlora, harus diubah dengan pendekatan filia leadership, pendekatan dengan relasi persahabatan sebagaimana Yesus menyebut pengikutnya sebagai sahabat. Pendekatan ini bisa mengatasi munculnya persoalan hikikomori. Hikikomori terjadi karena lemahnya relasi dalam keluarga.
“Pendekatan kepemimpinan bisa memakai pendetakan filia leadership bukan lagi sarvant leadership,” tandasnya. Pola yang mengagungkan masa lalu harus ditinggalkan, proses perubahan tidak bisa dihindari.
Bagi Pdt Ebser M. Lalenoh, M.Th, ada persoalan serius yang harus dijawab gereja dan pendeta di dalamnya. Gereja dan keluarga Kristen rapuh karena abai pada hal-hal yang hakiki.
“Keluarga kita ini sudah disusupi, sudah diobok-obok oleh iblis. Pertahanan kita tidak cukup kuat, kita meninggalkan yang paling hakiki dan mengabaikan pesan Yesus untuk tetap berdoa. Ini tidak dibangun,” tuturnya.
Berdoa dan baca Alkitab itu harus terus dibangun. Jangan ketika ada masalah yang muncul kemudian terkaget-kaget. Baca Alkitab saja orang sudah enggan itu dapat dilihat dari Program Baca Alkitab yang pernah dicanangkan.
“Lho, keluarga kita rapuh. Dan ini sangat penting kalau kita mau kembalikan sebagai keluarga Allah. Maka kita harus benar-benar memelihara kaluarga itu. Nilai-nilai ini hilang sama sekali. Dan kita mau mengembalikan di program tahun lalu, kita ingat Program Baca Alkitab. Kalau ini rapuh, kecenderungan hikikomori itu besar sekali,” tandasnya.
Solusinya, kata KMJ GPIB Eben Haezer, Surabaya ini, bertobat. “Bertobat sajalah,” sarannya. Menurutnya, peran sang Bapak di rumah sebagai Imam juga menjadi persoalan yang mengabaikan tugasnya untuk menyampaikan pengajaran kepada anak-anaknya.
Ada yang baca alkitab tapi di rumah berkelahi dlsb, ujung-ujungnya cerai, lalu kemudian gereja menyetujui daripada berbuat dosa, sehingga anak-anak itu traumatis. Jadi peluang hikikomori itu bisa terjadi.
Menjawab persoalan ini, kata Ebser, harus melakukan pembenahan luar biasa, perlu transformasi kepemimpinan. Harus merekonstruksi, keluarga itu basis gereja, jangan ada yang tersingkirkan atau diabaikan.
“Para pendeta dulu yang harus dibenahi secara baik. Karena pemikirannya itu akan mewarnai pelaksanaan tugasnya. Kalau hatinya bagus, pemikirannya bagus, siapakah yang bisa menggugat hamba Tuhan dalam tugas dan pekerjaannya dan pelayanannya,” tandas Ebser.
Dalam transformasi kepemimpinan kedepan pendeta punya tanggung jawab terhadap umat ini. Harus didorong untuk mengalami kebangkitan. Ini tanggung jawab mulia dan ini harus melekat dalam diri pendeta. Tugasnya itu membimbing, membina jemaat sehingga bisa menghasilkan jemaat-jemaat yang benar-benar produktif. Namun, katanya, jemaat harus dipersiapkan supaya jangan diperbudak oleh media-media social sehingga melupakan tugas memberitakan Injil.
Mengenai Ketua Mejelis Jemaat apakah mesti pendeta atau non pendeta, Ebser mengatakan, keluarga-keluarga perlu disiapkan secara baik supaya bisa melakukan transformasi gereja menurut kehendak Kristus yang benar, agar gereja busa menjadi tempat yang nyaman.
“Tidak ada salahnya, siapa saja, tidak harus pendeta untuk menjadi Ketua Majelis Jemaat,” kata Mantan KMJ GPIB Passareang Makassar ini. Hanya saja, katanya, orang yang melakukan tugas itu harus bisa melaksanakan tugas kepemimpinan itu secara baik dan benar menurut hukum Alkitab.
“Saya ingat sekali Pak Pdt Wuwungan dan Pdt Bob Siwalete bertengkar di Bogor menyangkut Presbiterial Sinodal dan Kongregasional. Muncul pernyataan Pdt Wuwungan: “Selama saya di GPIB tidak akan pernah ada kongregasional. “Tapi pertanyaannya kita tidak tahu yang akan datang,” imbuh Ebser yang juga Ketua Departemen Inforkom & Litbang GPIB ini.
KMJ GPIB Zebaoth Bogor, Pdt. Dr. Margie Ririhena – Dewana meminta gereja tidak perlu kaku dalam menjalankan pelayanannya. Perubahan di era digitalisasi ini sangat cepat dari gaya 4.0 ke 5.0, gereja harus merekonstruksi dirinya.
“Jangan kita menjadi kaku bahwa ini tidak bisa berubah, sementara terjadi perubahan yang signifikan. Ini tidak bisa ini sudah diputuskan. Kita harus selesai dengan kultur seperti itu. Kesadaran pada konteks yang berubah cepat itu harus menjadi perhatian kita. Lima tahun lalu kita tidak pernah membayangkan bahwa era 4.0 begitu cepat memasuki 5.0,” tuturnya.
Margie berharap gereja tidak lagi terjebak dengan gaya lama yang segalanya sudah diatur dan diputuskan. Ia mencontohkan soal ibadah daring termasuk Perjamuan Kudus yang dilaksanakan oleh GPIB tidak ada dalam Tata Gereja bisa dilaknsakan karena situasi menuntut itu.
“Situasi itu berubah kita jangan kaku jangan kemudian mengatakan kita tidak pernah mengenal dalam Tata Gereja kita, dalam dokumen kita tidak ada tuh yang namanya ibadah daring,” tandas Margie.
GPIB, katanya, dititik itu melakukan lompatan berteologi yang luar biasa. GPIB mengambil pilihan yang sama sekali tidak terdokumentasi dalam dokumennya, GPIB cair menyikapi pendemi yang terjadi. “Dan itulah menurut saya kecairan gereja, tetapi kecairan itu harus dilanjutkan karena pandemi belum selesai,” ujar Margie.
Apakah perlu merubah struktur, misalnya, tidak semua pendeta harus di jemaat dengan konsep PJ dan KMJ, tanya Pdt Abraham Silo Wilar.
“Dalam diskusi di Panter (Panitia Materi) isu itu muncul. Bahwa setiap orang tidak harus di jemaat. Jemaat tidak harus gereja lokal, kampus juga jemaat, masyarakat juga jemaat, panti asuhan atau yayasan tertentu,” jawab Margie.
Menurutnya, problem merekonstruksi model bergereja adalah persoalan sangat serius. Ada dua hal, struktur dan agency harus berubah, manusia juga harus berubah. Dua hal harus berjalan paralel untuk melakukan sebuah proses perubahan.
“Saya menawarkan eklesiologi begibung. Eklesiologi ini mendorong kita berpartisipasi. Jadi eklesiologi yang partisipatoris yang mana pengalaman bersama dihargai, ada kesempatan untuk memberikan kontribusi, berbagi secara interaksi. Itu bisa kita lakukan secara baik dalam kehidupan menggereja kita. Semua orang dirayakan secara egaliter dalam kebersamaan,” imbuh Mantan KMJ GPIB Galilea, Bekasi Ini.
Bagi Pdt. Stephen GR Sihombing, MTh, gereja perlu program-program kontekstual, gereja harus terus menerus diperbaharui. Gereja harus benar-benar diberi kebebasan mengaktualisasikan dirinya. “Saya pikir seperti yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Belajar Merdeka. Gereja harus keluar dari kungkungannya,” katanya.
Gereja, perlu tanggap terhadap persoalan yang dihadapi warga jemaat dan peka melihat apa yang dibutuhkan jemaat. Ini tanggung jawab pendeta-pendeta di Jemaat untuk terus menemukan apa sebenarnya uang dibutuhkan untuk membangun warga jemaat.
“Jadi kadangkala kita sibuk dengan hal-hal yang sekunder, yang primer kita tidak kerjakan. Sibuk ke geraja, saya tidak tahu apa tujuannya, apa barangkali ada sesuatu yang mau diraih. Tapi ke dalamnya, untuk baca Alkitab tidak ada waktu, untuk berdoa tidak ada waktu. Kita perlu merenungkan Firman Tuhan secara pribadi, apa yang kita tabur itu yang kita tuai,” tandasnya.
Menurut Stephen, kalau warga gereja kedepan masih seperti sekarang, pendeta-pendeta yang bertanggung jawab, tidak mungkin menyalahkan siapa-siapa. “Jadi kalau warga kita kedepan masih seperti sekarang, kita yang bertanggung jawab disitu, kita tidak mungkin menyalahkan orang lain,” katanya. /fsp