GPIB, Jakarta – Pulang dari persidangan sinode, Pendeta Elia Unpapar menghadapi situasi yang pelik. Desakan jemaat, perbincangan dengan rekan sejawat, dan isu mengenai virus yang menyebar di perhelatan di Bogor membuatnya tidak bisa tinggal diam.
Ia merasa sehat, tidak demam dan tidak juga batuk. Saat itu, juga belum ada imbauan baik dari Sinode maupun dari Pemerintah agar peserta sidang memeriksakan diri, tapi ia merasa perlu memeriksakan diri.
Pada 10 Maret 2020, ia memutuskan untuk menghubungi seorang dokter yang adalah warga jemaatnya di GPIB Jemaat Bukit Kasih, Surabaya. Dokter yang bekerja sebagai kepala bidang pelayanan medis di sebuah rumah sakit di Jombang ini memeriksanya di rumah. Ia dinyatakan sehat.
“Saya minta skrining saja, minta rapid test,” kata Pdt. Elia, Sabtu, 28 Maret 2020. ”Dijawab tidak bisa karena barang belum datang dari Jakarta.”
Penjelasan dokter bahwa dia sehat tidak cukup. Beragam isu megenai perhelatan di Bogor yang terbangun di media sosial dan berita di media tetap membuatnya merasa tidak bisa berdiam diri. Apalagi, belum lama dia menengok seorang rekan yang belakangan teridentifikasi positif.
Meski sudah tiga minggu berlalu sejak acara di Bogor yang diikutinya, ia kembali meminta dokter memeriksa pada 22 Maret 2020. Ia kembali dinyatakan sehat dan tidak disarankan untuk melakukan tes.
Padahal, ia merasa bahwa perjuangannya untuk memeriksakan diri selaras dengan imbauan Sinode bagi peserta sidang. Ia juga merasa perlu menaati anjuran pemerintah agar peserta sidang di Bogor memeriksakan diri.
“Kami kan menyikapi berita-berita yang muncul di media online dan medsos yang ada. Misalnya, Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah meminta mereka yang ikut PST harus ikut rapid test,” kata Pdt. Elia.
Ia merasa perlu melakukan sesuatu. Setelah pembicaraan dengan rekan sesama pendeta di Mupel Jawa Timur, ia bersama dua rekannya, Pdt. Jefry Daminto dan Pdt. Amzal Mujiono memutuskan menempuh upaya yang lebih jauh. Mereka pergi ke Dinas Kesehatan Jawa Timur pada 26 Maret 2020. Meski diterima dengan baik oleh Dinas Kesehatan, Pdt. Elia kembali ditolak untuk tes karena kondisinya yang baik.
“Saya berupaya dengan berbagai macam cara, melalui sumber daya jemaat yang punya akses, sampai saya sendiri ke (dinas kesehatan) pemprov,” kata Pdt. Elia.
Bukan dirinya sendiri yang ia pentingkan. Sebagai Ketua Mupel Jawa Timur, Pdt. Elia merasa perlu melakukan sesuatu untuk memastikan keamanan rekannya peserta sidang dan ribuan jemaat di Surabaya. Ia berusaha meyakinkan petugas Dinas Kesehatan bahwa ia dan sejumlah peserta sidang dari Jawa Timur perlu tes. Kronologi dan data-data dipaparkan, termasuk menyebutkan ada puluhan peserta sidang yang mewakili 48 jemaat GPIB di Jawa Timur.
“Kalau dikali dua sudah berapa, lalu dengan penyebaran hampir seluruh kota kabupaten Jawa Timur, kami sebaiknya ikut tes,” cerita Pendeta Elia. “Tapi rupanya kebijakan antarprovinsi tidak sama, walaupun kami sudah ceritakan kronologi supaya kami diikutkan pada kesempatan pertama rapid test. Tapi penjelasan dari dinas kesehatan provinsi melalui posko rapid tes, yang diprioritaskan yang kontak dekat dan yang bekerja di rumah sakit.”
Upaya mereka untuk bisa dites juga menemui jalan buntu ketika mereka ditanyakan kondisi peserta. Kecuali satu rekan mereka yang sempat sakit, seluruh peserta sidang di Jawa Timur dalam keadaan baik. Untuk bisa tes, mereka harus melalui tahapan skrining.
“Karena tidak batuk, tidak macam-macam, maka diisolasi mandiri dulu,” kata Pdt. Elia.
Bukan Pdt. Elia seorang diri yang dengan gigih berupaya memeriksakan diri dan berakhir dengan penolakan. Pdt. Jefry Daminto, KMJ GPIB Jemaat Benowo juga mengalami penolakan berulang. Sebelum pergi bersama Pdt. Elia pergi ke Dinas Kesehatan Jawa Timur, Pdt. Jefry berupaya meminta tes secara mandiri tak berhasil.
Ia bersama istrinya dua kali pergi ke dokter di rumah sakit yang berbeda.
“Saya dan istri cek, di rumah sakit, dokter bilang kondisi saya sehat,” kata Pdt. Jefry, Senin, 30 Maret 2020. “Saya check up juga baik.”
Ia kemudian memutuskan untuk menghubungi RS Unair, memahami bahwa ini adalah tempat untuk memeriksakan diri. Di sini, ia bahkan menawarkan untuk membayar sendiri pemeriksaan. Jalan ini juga buntu. Petugas yang dihubunginya menjelaskan bahwa alih-alih menempatkan dirinya pada risiko tertular pasien yang positif di rumah sakit, bila kondisinya sehat ia tidak disarankan untuk tes.
“Disampaikan ke saya kalau tidak ada tanda, tidak usah,” kata Pdt. Jefry. “Cukup di rumah dan mengisolasi diri.”
Di tahap ini, langkah memeriksakan diri terhenti. Namun, masa inkubasi sudah berakhir. Langkah mengamankan jemaat menjadi prioritas mereka.
Mengamankan Jemaat
Tiap minggu, biasanya ada lebih dari 200 jemaat menghadiri ibadah di GPIB Benowo, Surabaya. Namun, suasana berbeda di gedung gereja pada 15 Maret 2020. Ibadah dilaksanakan, namun tanpa ada kehadiran warga lansia dan anak-anak, mereka yang dikategorikan rentan.
Sekitar 100 orang yang hadir tidak hanya mendapatkan Firman Tuhan dalam ibadah, tapi juga edukasi bagaimana mencegah penyebaran Covid 19.
“Duduknya pun sudah kita atur, berjarak satu meter satu sama lain. Mereka cuci tangan, disediakan hand sanitizer dan tidak ada jabat tangan,” kata Pdt. Jefry.
Ia menjelaskan bahwa memerangi virus harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, tidak bisa dari sisi teologi saja.
“Jadi dari aspek teologis, psikologis, dan sosial kita lakukan,” kata Pdt. Jefry.
Secara psikologis, jemaat dibantu untuk mendapatkan rasa aman. Selain penyemprotan di gereja, rumah jemaat pun disemprot. Tabung penyemprotan disinfektan dibagikan melalui koordinator sektor.
Keamanan jemaat juga ditingkatkan dengan menyelenggarakan ibadah melalui live streaming sejak Minggu, 22 Maret 2020 dari kanal Youtube GPIB Benowo. Jemaat yang tidak bisa mengikuti live streaming mendapatkan kiriman video ibadah.
Upaya pencegahan dalam konteks sosial dilakukan dengan membantu lingkungan sekitar. GPIB jemaat Benowo memberikan tabung disinfektan ke RW setempat dan masjid, serta lingkungan dekat pastori.
Di GPIB Bukit Kasih, ibadah terakhir di gedung gereja dilakukan pada Minggu, 22 Maret 2020, sebelum sementara dialihkan melalui kanal Youtube GPIB Jemat Bukit Kasih, Surabaya. Di kala itu, virus corona sudah menjadi headline berbagai media. Meski ibadah tetap dilakukan, saran untuk social distancing dilakukan dengan menjaga jarak antarjemaat.
Sebelum mengikuti ibadah, jemat bisa mencuci tangan di depan gereja. Hand sanitizer pun disiapkan.
“Secara pastoral, kami imbau warga jemaat untuk dukung program pemerintah,” tutur Pdt. Elia.
Sebelum ibadah Minggu itu, mereka melaporkan ke pemerintah setempat sehingga dilakukan penyemprotan disinfektan di gedung gereja.
Pergerakan virus yang meluas membuat ibadah harus dilakukan melalui live streaming.
“Yang semua sifatnya berkumpul di satu tempat ditiadakan. Kami, dengan sumber daya yang ada, menggantikan dengan live streaming, “ kata Pdt. Elia. “Yang tidak punya android, kami kasih lewat tata ibadah yang kami sebarkan.”
Di luar Surabaya, bentuk ibadah live streaming ini juga dilakukan oleh banyak jemaat GPIB, khususnya setelah imbauan Sinode terkait Covid 19 keluar. Di GPIB Ora Et Labora, Serpong, mulai 22 Maret 2020, ibadah Minggu dilakukan melalui kanal Youtube GPIB Ora Et Labora.
“Pemerintah meminta supaya warganya diam di rumah, dan ini berpengaruh bagi gereja,” kata Pdt. Paul Waney pada ibadah GPIB Ora et Labora, Minggu, 22 Maret 2020. “Sekarang persekutuan dilakukan di rumah-rumah. Tapi apakah ini valid, persekutuan yang dibuat di rumah, bukan dalam ruang ibadah gereja seperti biasanya? Valid, karena yang paling penting dari persekutuan itu ada enggak Firman Allah diberitakan.”
Ibadah Minggu melalui live streaming juga dilakukan oleh GPIB Jemaat Jurang Mangu, Bintaro, melalui kanal Youtube mereka.
“Kita melakukan social distancing seperti saat ini, bahkan kita bukan hanya menjaga jarak, kontak fisik pun kita hindari, bukan karena kita tidak mengasihi,” kata Pdt. Nancy Rehatta di ibadah Minggu, 22 Maret 2020. “Tetapi kita melakukan itu dalam rangka memutuskan rantai dari penyebaran virus. Apakah kita takut dan kuatir untuk kehidupan kita? Secara mental mungkin iya, tapi secara spiritualitas tidak boleh khawatir. Hidup ini di tangan Tuhan dan virus itu kalah oleh kuasa Tuhan.” (cam/lip)