Jakarta, GPIB – “Cukup canggung awalnya namun kami memaklumi karena kondisi wabah yang terjadi saat ini. Namun ini sangat luar biasa bahwa perjamuan dapat dilakukan oleh semua orang di rumah-rumah dan ini karena Tuhan,” kata bapak Togi Girsang, salah satu jemaat GPIB Filadelfia, Bintaro, Tangerang yang melakukan perjamuan kudus di rumah saat ibadah Jumat Agung secara streaming.
Togi menyampaikan bahwa ia bersama istrinya melakukan ibadah Jumat Agung dan melakukan perjamuan dengan arahan pendeta. “Kami mengunakan roti tawar dan jus saja karena kami tidak punya anggur. Kami melakukan ini karena sudah diberi penjelasan sebelumnya,” ujarnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh keluarga Ibu Neni Donakipu, anggota jemaat GPIB Jurang Mangu, Tangerang. “Kami mendapat penjelasan dari grup pelkat dan dari KMJ di gereja sehingga kami melakukan perjamuan kudus di rumah lewat ibadah streaming,” ucapnya.
Di rumahnya ada sekitar tujuh orang yang ikut bersama-sama dalam ibadah streaming dan perjamuan kudus mengunakan roti dan teh. “Ini baru pertama kali ya perjamuan seperti ini. Cukup senang karena sudah dijelaskan dan kita ikuti dan semua berjalan dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu berbeda dengan Ibu Velda Manopo, anggota jemaat GPIB Horeb Kramat Jati, Jakarta Timur. Ia beribadah streaming bersama keluarganya, namun tidak melakukan perjamuan kudus. “Kami beribadah Jumat Agung mengikuti tata ibadah yang sudah dishare dengan kotbah dari Pdt. Raintung, cuma kita tidak perjamuan. Ya kurang aja, soalnya kan biasanya kalau Jumat Agung itu perjamuan tapi tidak mengurangi hikmatnya ibadah itu sendiri,” katanya.
Pada umunya jemaat-jemaat GPIB di seluruh Indonesia melakukan ibadah Jumat Agung lewat streaming. Dalam ibadah itu ada yang melakukan perjamuan kudus di rumah-rumah, ada pula yang tidak melakukan.
Soal perjamuan kudus di rumah-rumah dengan mengganti anggur dan roti dengan bahan makanan lain, menurut Pdt. (Em.) Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D., boleh dilakukan.
Dalam acara Effatha Talk di channel youtube, dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta itu menjelaskan bahwa perjamuan yang dilakukan Tuhan Yesus bersama murid-muridNya adalah sebuah perayaan Paskah pembebasan dari Mesir.
“Perjamuan kudus yang kita rayakan berasal dari narasi di injil-injil, sebenarnya adalah perjamuan Paskah Yahudi. Jadi orang-orang Yahudi merayakan Paskah, yaitu pembebasan dari Mesir. Jadi mereka berkumpul malam, merayakan perjamuan dan perjamuan itu disebut Seder. Dalam Seder ini ada roti tidak beragi, anggur, ada kue-kue dan seterusnya. Jadi, Tuhan Yesus melakukan Seder bersama murid-muridNya. Dan Seder ini adalah perayaan, sebuah festival bukan makan-makan biasa saja. Roti dan anggur ini adalah bagian dari perjamuan Seder, bukan perjamuan sehari-hari tapi perjamuan khusus yang bahan-bahannya sebenarnya adalah makanan sehari-hari bagi orang Yahudi di Palestina. Jadi pertanyaannya, apakah kita boleh mengganti roti dan anggur dengan makanan sehari-hari dari konteks kita sendiri? Menurut saya, bisa,” kata Prof. Gerrit Singgih.
Ia menambahkan, dalam perjamuan itu harus mengingat apa makna, Tuhan memberikan tubuh dan darahnya kepada kita dan bagaimana kita harus merayakan perjamuan kudus dengan gembira tapi menjaga ke-khidmat-anNya dan mengingat bahwa ini sebuah perayaan pembebasan.
“Kalau kita mengunakan roti dan anggur boleh saja tapi kita tidak usah memecahkannya, tidak usah melakuan biblisistik, karena di Alkitab tertulis roti dan anggur maka harus tetap roti dan anggur. Saya kira tidak begitulah, makanan sehari-hari kita bisalah. Misalkan beras, kentang dan teh, pakai jahe atau di Manado pake saguer sedikit, nda apa-apa, yang penting tidak terlalu banyak sesuai ap ayang dibutuhkan untuk memperlihatkan makanan dan minuman sebagai simbol yang kita perlukan. Jadi simbolnya yang penting bukan bahannya. Jika di masa darurat sekalipun, andai kata pendeta tidak bisa memimpin perjamuan kudus, kalau memang sulit, maka bapak rumah tangga bisa berfungsi mewakili Tuhan dan membagikan makanan dan minuman kepada orang-orang di rumah. Jadi, jangan terlalu strik, terlalu kaku di dalam kita menghadapi masa sulit wabah covid seperti ini. Kita harus cukup fleksibel. Fleksibel itu justru tanda bahwa kita beriman secara dinamis, bukan kaku saja dan tetaplah gembira, tetaplah sukacita dan jangan berbantah-bantah, jangan saling mempersalahkan satu dengan yang lain,” ujarnya. (lip)