
Peserta Konferdal Germasa GPIB di Kinasih, Tapos Jawa Barat bersama narasumber Jimly Asshiddiqie sepakat hasil-hasil konferdal tidak sampai di Kinasih saja. Harapannya, semua yang sudah didapat dalam Konfedal bisa sampai juga ke Pemerintah
arcus Ed. 24 – Konferdal Germasa GPIB di Kinasih, Tapos Jawa Barat cukup prihatin dengan kondisi berbangsa saat ini. Konferdal yang diselenggarakan pada 21-23 Januari 2019 ini cukup peka melihat persoalan di negeri ini. Tidak hanya sekadar persoalan internal gereja, tapi juga persoalan berbangsa.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, munculnya kelompok-kelompok radikal dan intoleransi yang ingin mengubah haluan bangsa yang berdasarkan Pancasila menjadi tantangan serius bagi semua anak bangsa, termasuk gereja.
Konferdal menghadirkan beberapa narasumber dengan Pembicara Kunci, Jimly Assiddiqie. Dalam bahasan kelompok, Pdt Zeth Yunus Laritmas menyebutkan, bingkai Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi perekat dalam banyak perbedaan, telah kehilangan roh. Akibatnya terbukalah rongga-rongga kesenjangan yang menimbulkan konflik. Pemilihan Umum 2019 yang didalamnya dilakukan secara serentak pemilihan Pilpres dan Pileg menjadi area “perang” yang terbuka antar partai politik sampai ke akar rumput di dalam masyarakat.
Politik uang dan politik identitas, dipakai sebagai “senjata” yang sengaja ditembakkan untuk menyerang lawan politik. Konferdal pun mengusulkan, agar warga negara berpartisipasi dalam menentukan pilihan yang tepat dan tidak memilih golput.
Nilai-nilai nasionalisme yang terus tergerus dan memudar akibat adanya upaya-upaya mengedepankan kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan, harus dikikis dengan membangun sikap toleransi dan mau menerima keperbedaan yang ada.
Menghadapi Pemilihan Umum 17 April 2019, diharapkan Majelis Sinode GPIB sebagai pimpinan lembaga, dapat menghimbau seluruh warga jemaat GPIB untuk menggunakan Hak Pilih untuk tidak golput.
Pada tatanan gerejawi, Germasa di Kinasih yang dihadiri 150 lebih peserta berharap, pendekatan-pendekatan kekuasaan yang selama ini digunakan untuk mencapai tujuan, harus diganti dengan pendekatan-pendekatan pastoral, kasih, yang merupakan ciri dan karakter Kristus.
Pendekatan pastoral sangat diharapkan bisa mengatasi munculnya berbagai masalah yang meresahkan dalam gereja seperti konflik antar presbiter, ketegangan antar presbiter dan warga jemaat, gesekan-gesekan antar gereja dengan masyarakat dan renggangnya relasi gereja antar gereja dan gereja dengan pemerintah.
Belum lagi persoalan aset gereja yang ruwet dan sistem pengelolaannya yang perlu dikoreksi, menjadi hal yang menghiasi persoalan-persoalan internal dalam gereja.
“Tidak menggunakan pendekatan kekuasaan, namun lebih mengedepankan pendekatan pastoral. Membangun komunikasi dua arah yang baik,” ungkap Pdt Zeth Yunus Laritmas, KMJ Bukit Benuas, Kaltim. Ia juga meminta adanya perubahan orientasi kepemimpinan, bukan untuk dilayani, melainkan melayani dengan tulus, professional dan berintegritas.
Kepada pemerintah, Konferdal GPIB ini juga meminta Pemilihan Umum 17 April 2019 dikawal dan dilaksanakan dengan jujur, adil dan transparan. Meninjau kembali Perda-perda yang diskriminatif. Berani bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran dan radikal yang terus merongrong kesatuan dan keutuhan bangsa.
“Roh Perekat Pancasila dan UUD 1945 harus dikembalikan menjadi fondasi yang kuat dan kokoh dalam membangun nasionalisme di tengah tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tandas Laritmas.
Menghadapi Pilpres 2019, Pdt Stephen Sihombing yang membahas gereja dan politik sepakat agar GPIB memberi dukungan kepada Caleg dari GPIB, dengan memberi dukungan itu dalam bentuk doa dan penggembalaan, menerbitkan surat pastoral, mengadakan pendidikan politik bagi warga jemaat, memberi arahan informasi ajakan memilih.
Untuk memuluskan semua itu, GPIB perlu membangun kerja sama dengan pemerintah, dengan lembaga agama lain, dan lembaga gereja lain. Mendorong jemaat untuk aktif dalam berorganisasi di luar organisasi gereja, mendukung dan mendoakan pemerintah, Ikut aktif memerangi hoax dalam memasuki di IR 4.0 atau Revolusi Industri Era ke 4.
Dinamika yang terjaring dalam diskusi tentang Gereja dan Politik, kata Pdt Stephen Sihombing, mulai dari soal pendidikan politik tidak berjalan GPIB, alergi dengan politik, tidak mendukung Warga Jemaat berpolitik. Hal lain menjadi sorotan dalam Konferdal itu, GPIB perlu memahami agar politik tidak menjadi yang tabu.
Refleksi Teologisnya, kata Pdt Stephen menunjuk teks firman Tuhan, dari Yer 29 : 7, kesejahteraan adalah Idiom Politik. Untuk menyejahterakan harus bergaul aktif, selain aktif bergaul harus tetap berdoa.
“Politik untuk kebaikan. Kesejahteraan lingkungan akan berimabas pada kesejahteraan kita. Semua bertujuan untuk kesejahteraan di mana kita tinggal. Orang merdeka yang menggunakan kebebasan untuk kebaikan bersama,” tandas KMJ Bethesda Jakarta Pusat mengutip 1 Petrus 2 : 16 “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan e mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.”
Tidak hanya itu, Konferdal juga menyentuh permasalahan yang terjadi saat ini berkaitan dengan persoalan penutupan GPIB Anugerah Bekasi dan GPIB Cawang Baru.
fsp/frans/arcus