GPIB, Jakarta – Wabah Covid 19 membuat Lala Palupi, seorang dosen desain di universitas swasta di Tangerang, kehilangan kepercayaan diri. Kepercayaan dirinya pulih dan ia merasa produktif setelah terlibat dalam bisnis kuliner yang difasilitasi oleh GPIB Ora et Labora, Serpong.
“Buat saya pribadi, saya lihat saya tidak jadi terlalu fokus sama kekuatiran saya,” kata Lala. “Saya sempat merasa tidak berguna, terus jadi punya confidence lagi. Ada hal lain yang bisa saya lakukan.”
Covid 19 menghentikan mobilitas banyak orang, termasuk Lala, yang sejalan dengan kebijakan tempat kerjanya melakukan pengajaran dari rumah. Situasi finansial rumah tangga juga terpengaruh dengan pandemi dan membuatnya melakukan penghematan.
“Di rumah saya tidak produktif, merasa useless,” kata Lala. “Ini salah satu kegiatan yang keeping me sane.”
Lala mulai sering memasak sejak pandemi. Belakangan, masakan favorit keluarganya, sambal, menjadi produk jualannya. Inisiatif berjualan salah satunya dari Persekutuan Kaum Perempuan (PKP) GPIB Ora et Labora. Di grup, alih-alilh membagikan informasi yang mengkuatirkan, mereka saling berbagi resep makanan. Lalu, tercetus ide berjualan secara terorganisir.
Lala mulai berjualan sambal cakalang dan cumi di akhir April 2020 dengan sistem pre order. Dalam sehari, penjualan antara 10 sampai 15 botol dengan omzet sekitar Rp 1,5 juta seminggu. Pendapatan dari sini menurutnya sangat membantu untuk membayar tagihan-tagihan rumah tangga, seperti listrik.
Produk Lala dijual di website e-commerce waroengoel.com di antara banyak produk makanan lainnya.
“Saat ini ada makanan segar, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan makanan siap saji,” kata Dkn. Tofa Porayouw, koordinator sektor di GPIB Ora et Labora, yang menjadi insiator program ini. “Beras juga diperjualbelikan.”
Pada website, selain produk makanan ada juga produk kesehatan seperti APD dan penawaran jasa seperti delivery dan fogging.
Menurut Tofa, program e-commerce dibangun sebagai upaya dari pengembangan ekonomi jemaat. Awalnya, gereja merencanakan membuat koperasi. Ide yang belum terimplementasi ini akhirnya diarahkan menjadi program e-commerce yang dikelola oleh satu tim kecil.
Di awal Mei, PKB yang juga memiliki ide yang sama dengan PKP, akhirnya bertemu bersama dan memikirkan wadah penjualan.
“Akhirnya kita masuk ke sektor-sektor juga,” kata Tofa. “Kendalanya, masih ada beberapa metode dan konsep yang harus diseragamkan. Agar sesuai, ada wadah supaya terorganisir. Kalau (berjualan) melalui WA saja, alurnya tidak terlalu bagus.”
Awalnya, tim kecil yang mengorganisir ini mengkombinasikan penjualan melalui media sosial seperti Whatsapp dan Instagram. Belakangan, dibuat penjualan berbasis website.
Meski dikembangkan oleh jemaat, upaya e-commerce ini dilakukan dengan serius. Tim yang mengorganisir juga membuat profil bisnisnya.
“Kalau saya lihat, yang berjualan memang ada yang kena dampak pandemi,” kata Tofa. “Mereka berpikir harus bagaimana agar bisa tetap jalan berikutnya. Waktu itu (dirintis) agar ekonomi jemaat jalan.”
Upaya ini tidak sia-sia. Menurut Lala, selain keluarganya, ada banyak warga gereja yang terkenda dampak ekonomi karena pandemi.
“Ada beberapa keluarga yang biasa antar jemput anak sekolah, mereka jadi zero income,” kata Lala. “Sekarang mereka buka jastip (jasa titipan-red) ke pasar.”
“Menurut saya, apa yang dilakukan (GPIB Ora et Labora) ini bagus. Bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi secara pribadi ini membangun rasa percaya diri. Fokus berubah dari memikirkan kekuatiran, kecemasan yang berlebihan menjadi fokus yang lain.” (camel)