GPIB, Jakarta – Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) mengungkapkan rencana untuk memulai peribadahan offline atau luring dalam talkshow yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat, 19 Juni 2020 dengan tema “Kapan Kembali Beribadah di Gereja?”
“Kami sejak awal bulan Juni sudah mengeluarkan panduan kepada seluruh gereja kami di 26 provinsi bahkan sampai ke pelosok-pelosok pedalalaman, karena kami hampir punya 300 pos-pos pelayanan atau cabang-cabang induk di daerah-daerah pedalaman,” kata Ketua Umum Majelis Sinode GPIB Pendeta Paulus Kariso Rumambi. “Selama bulan Juni itu, mereka mempelajari panduan kami karena kami akan memulai ibadah di bulan Juli. Tapi itu tentu saja harus memenuhi syarat utama, yaitu surat keterangan rumah ibadah aman dari Covid 19 yang dikeluarkan oleh gugus tugas daerah.”
Diskusi ini diselenggarakan oleh BNPB dalam kaitan dengan keluarnya Surat Edaran Kementerian Agama Nomor 15 tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi. Selain Pdt. Paulus, diskusi juga dihadiri oleh Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja di Indonesia Romo Heri Wibowo, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Jacky Manuputty dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Dr. Thomas Pentury.
“Ada kebijakan pemerintah untuk melakukan pelonggaran atau relaksasi, tapi kemudian Kementerian Agama ingin memfungsikan kembali, atau refungsionalisasi rumah ibadah,” kata Dr. Thomas. “Tapi kemudian bahwa dalam kerangka memfungsikan kembali rumah ibadah itu, rumah ibadah harus bisa menjadi contoh dalam penanganan pandemi Covid ini, makanya perlu diatur lebih lanjut tata cara beribadah.”
Menurut Dr. Thomas, surat keterangan keamanan tempat ibadah ini dikeluarkan oleh gugus tugas Covid 19 atau pemerintah di wilayah tersebut.
“Sudah dijamin oleh undang-undang bahwa semua orang bisa beribadah menurut agama dan kepercayaan,” kata Dr. Thomas. “Tapi dalam kerangka pelaksanaan kegiatan beribadah yang melibatkan banyak sekali jemaat, itu kondisinya harus aman, supaya tadi sekali lagi, rumah ibadah harus menjadi tempat atau contoh yang baik dari upaya pemerintah untuk menangani Covid 19.”
Pdt. Rumambi mengatakan dalam diskusi tersebut bahwa protokol kemanan di GPIB akan diberlakukan dengan ketat untuk mencegah penyebaran virus.
“Kami memulai dengan pemeriksaan suhu tubuh, lalu pemberian masker, bila tidak memiliki masker. Lalu kami arahkan untuk mencuci tangan dengan sabun, hand sanitizer,” kata Pdt. Rumambi.
Jemaat lalu diarahkan untuk mengambil nomor, mengisi buku tamu lalu duduk di tempat yang sudah ditentukan. Buku tamu akan digunakan untuk contact tracing untuk pemantauan kondisi jemaat secara berkala.
Ada empat tahapan yang disiapkan untuk pelaksanaan ibadah luring ini. Pada tahap pertama, atau tahap sosialisasi di dua minggu pertama di awal Juli, ibadah hanya akan dikhususkan untuk pengurus gereja, yakni majelis dan pengurus komisi.
“Kemudian tahap kedua adalah tahap adaptasi yang berlangsung empat minggu. Itu 25 persen dari kapasitas gedung gereja,” kata Pdt. Rumambi, menambahkan bahwa jemaat duduk dengan jarak satu setengah meter dari yang lain dan mereka yang berusia di atas 50 tahun tidak disarankan untuk menghadiri ibadah luring.
Tahap ketiga adalah tahap pemantapan, di mana saat kondisi sudah semakin kondusif gedung gereja bisa diisi sampai maksimum 50 persen. Tahap terakhir, yakni tahap era baru, ditandai dengan telah ditemukannya vaksin dan beredar secara luas. Pada tahap ini, gereja bisa diisi di atas lima puluh persen dan meningkat secara bertahap sesuai dengan kondisi.
Pdt. Jacky mengatakan bahwa organisasinya menghimbau gereja untuk terus mempersiapkan protocol pengamanan yang detail terkait dengan peribadahan.
“Untuk orangtua dan anak-anak kami masih mengimbau untuk mereka tidak ikut dalam ibadah jemaat,” kata Pdt. Jacky. “Jadi dibutuhkan gagasan-gagasan kreatif dan penyesuaian-penyesuaian liturgi sebagai pola baru dalam situasi seperti ini.”
Ia menambahkan gereja perlu dijadikan sebagai pusat edukasi dan literasi publik terkait Covid 19.
“Yang kami lihat merupakan salah satu persoalan besar adalah terbatasnya edukasi yang secara simultan dilakukan, yang secara ekstraordinari dilakukan dengan memakai media dan medium yang ada dalam mendorong ketaatan publik dalam situasi seperti ini,” kata Pdt. Jacky.